Tantangan dan Solusi Pemulihan bagi Korban Uang Palsu

Peredaran uang palsu di lingkungan UIN Makassar, Sulawesi Selatan tengah menyita perhatian publik. Dengan nominal mencapai triliunan rupiah, masyarakat pun merasa takut jika tanpa sadar, mereka mendapatkan uang tersebut. Pasalnya, menurut Kepala Bank Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan, Rizki Ernadi Wimanda, jika dibandingkan dengan uang asli, uang palsu hasil produksi sindikat UIN Makassar sangat sulit dibedakan secara kasatmata.

Terkait uang palsu ini, Polda Sulawesi Selatan menetapkan 17 orang sebagai tersangka. Beberapa di antaranya, berprofesi sebagai pegawai bank BUMN dan dosen di kampus setempat. Polisi juga telah menyita barang bukti berupa uang palsu dan sejumlah mata uang asing.

Peredaran uang palsu bukan hal yang baru di Indonesia. Dengan dampak yang begitu luas, kasus ini harus menjadi perhatian serius. Korban uang palsu sering kali berada dalam posisi sulit, terlebih jika jumlahnya besar dan diterima lewat transaksi yang sah. Mekanisme ganti rugi yang belum jelas, risiko dicurigai terlibat dalam peredaran uang palsu, hingga stigma sosial jika korban tidak segera dapat membuktikan dirinya tak terlibat menjadi konsekuensi yang harus ditanggung korban.

Managing Partner ATP Law Firm, Andriansyah Tiawarman K. mengungkapkan, peredaran uang palsu tidak hanya merugikan individu secara finansial, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem keuangan dan memengaruhi stabilitas ekonomi. Itu sebabnya, penting untuk memahami bagaimana hukum di Indonesia melindungi korban uang palsu, termasuk langkah pencegahan dan mengatasi peredaran uang palsu secara menyeluruh.

Secara normatif, perlindungan terhadap korban uang palsu diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Andriansyah menyebutkan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Lama—melalui Pasal 244 dan 245 memberikan ancaman pidana berat kepada pelaku pemalsuan uang, dengan hukuman hingga 15 tahun penjara.

”Sanksi ini mencerminkan sifat delik yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap keamanan negara, karena uang palsu dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan kepercayaan terbadap mata uang negara,” kata Andriansyah.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru yang berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu 2026, tindak pidana pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 374 jo. Pasal 79 ayat (1) huruf g dan Pasal 375 jo. Pasal 79 ayat (1) huruf g dan h dengan hukuman hingga sepuluh tahun penjara dan pidana denda paling banyak kategori VII, yaitu Rp5 miliar. Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang memperkuat perlindungan hukum dengan memberikan kewenangan eksklusif kepada Bank Indonesia untuk mencetak dan mengedarkan uang. Pasal 37 dalam UU ini, juga menetapkan sanksi pidana maksimal sepuluh tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar bagi siapapun yang memalsukan dan mengedarkan uang palsu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *