Pada 2 Juli 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengundangkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 42/POJK.04/2020 Tahun 2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan (POJK 42/2020). Di sana, diatur secara khusus mengenai transaksi afiliasi dan transaksi benturan kepentingan bagi perusahaan terbuka; di mana secara spesifik, transaksi afiliasi merupakan setiap aktivitas dan/atau transaksi yang dilakukan oleh perusahaan terbuka atau perusahaan terkendali dengan afiliasi dari perusahaan terbuka atau afiliasi dari anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham utama, atau pengendali, termasuk setiap aktivitas dan/atau transaksi yang dilakukan oleh perusahaan terbuka atau perusahaan terkendali untuk kepentingan afiliasi dari perusahaan terbuka atau afiliasi dari anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham utama, atau pengendali (Pasal 1 angka 1 POJK 42/2020).
Lebih lanjut, pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor (UU 4/2023) pada 12 Januari 2023. Di sana, definisi ’afiliasi’ telah diubah—sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU 8/1995)—menjadi: (a) hubungan keluarga karena perkawinan sampai dengan derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu hubungan seseorang dengan: (1) suami atau istri; (2) orang tua dari suami atau istri dan suami atau istri dari anak; (3) kakek dan nenek dari suami atau istri dan suami atau istri dari cucu; (4) saudara dari suami atau istri beserta suami atau istrinya dari saudara yang bersangkutan; atau (5) suami atau istri dan saudara orang yang bersangkutan; (b) hubungan keluarga karena keturunan sampai dengan derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu hubungan seseorang dengan: (1) orang tua dan anak; (2) kakek dan nenek serta cucu; atau (3) saudara dari orang yang bersangkutan; (c) hubungan antara pihak dengan karyawan, direktur, atau komisaris dan pihak tersebut; (d) hubungan antara 2 (dua) atau lebih perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota direksi, pengurus, dewan komisaris, atau pengawas yang sama; (e) hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan atau pihak tersebut dalam menentukan pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan atau pihak dimaksud; (f) hubungan antara 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun, dalam menentukan pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan oleh pihak yang sama; atau (g) hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama yaitu pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki paling kurang 20% (dua puluh persen) saham yang mempunyai hak suara dari perusahaan tersebut.
Merujuk pada penjabaran di atas, suatu transaksi dapat dikatakan sebagai ’transaksi afiliasi’, jika perusahaan terbuka melakukan transaksi tersebut dengan pihak-pihak sebagaimana disebutkan di atas, baik dalam satu kali transaksi atau dalam suatu rangkaian transaksi untuk suatu tujuan atau kegiatan tertentu. Dalam konteks ini, contoh kondisi yang menunjukkan suatu rangkaian transaksi untuk suatu tujuan/kegiatan tertentu di antaranya: terdapat ketergantungan dan/atau kesinambungan antar transaksi yang direncanakan; perolehan efek perusahaan lain secara bertahap untuk tujuan pengendalian atau investasi; pelepasan efek perusahaan secara bertahap untuk tujuan divestasi yang mengakibatkan hilangnya pengendalian; dan perolehan atau pelepasan satu kesatuan aset yang dilakukan secara terpisah (misalnya, menjual pabrik dengan cara memisah-misah komponennya dan dijual kepada pihak yang berbeda).