Amerika Keluar dari Paris Agreement, Utusan Presiden RI: Rasa Keadilannya Di Mana?

Screenshot

Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Sujono Djojohadikusumo, menyoroti dampak keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menarik negaranya dari Paris Agreement. Dalam pernyataannya, Hashim mengungkapkan kekhawatiran terhadap konsekuensi dari langkah tersebut bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Menurut Hashim, keluarnya Amerika Serikat dari kesepakatan internasional ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Menurutnya Amerika Serikat mencatat emisi sebesar 13 ton karbon per kapita per tahun, sementara China menghasilkan 7 ton dan Indonesia hanya 3 ton per kapita.

 “Amerika saat ini merupakan pencemar terbesar kedua setelah China. Jika mereka tidak mau mematuhi perjanjian internasional, mengapa negara lain, termasuk Indonesia, harus mematuhi?” ujar Hashim dalam acara ESG Sustainable Forum 2025, dikutip Sabtu (1/2/2025).

Lebih lanjut, ia menyoroti ketimpangan dalam kebijakan pengurangan emisi karbon, yaitu negara-negara berkembang diminta untuk mengurangi emisi meskipun kontribusi mereka jauh lebih kecil dibanding negara maju. “Rasa keadilannya di mana? Kita hanya menghasilkan 3 ton, mereka 13 ton, tetapi kita justru didorong untuk menutup pembangkit listrik tenaga uap,” tegasnya.

Selain itu, Hashim menyoroti potensi kepemimpinan AS dalam jangka panjang yang bisa memperpanjang absennya negara tersebut dari Perjanjian Paris. Ia menyebut bahwa jika J.D. Vance, Wakil Presiden Trump saat ini, melanjutkan kepemimpinan di masa depan, maka Amerika bisa berada di luar kesepakatan iklim hingga 12 tahun ke depan.

Menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian ini, Hashim menegaskan bahwa Indonesia harus menyusun strategi pembangunan dengan mempertimbangkan dinamika global yang tidak menentu. Ia juga menyinggung tantangan yang dihadapi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional serta Menteri Lingkungan Hidup dalam merancang kebijakan yang tetap adil dan realistis bagi Indonesia.

“Indonesia selalu ingin menjadi negara yang patuh, tetapi negara-negara besar belum tentu memegang prinsip yang sama,” pungkasnya.

Komitmen transisi energi

Menanggapi keluarnya Amerika dari Paris Agreement, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen terhadap komitmen tersebut. Namun menurutnya diperlukan fleksibilitas bagi negara dalam implementasi kesepakatan tersebut.

“Jadi untuk Paris Agreement, namanya agreement ya tentu kita komit dengan apa yang kita perjanjikan. Tapi nanti kita akan mengikuti perkembangan. Jadi ya kira-kira apa yang kita perlu sesuaikan implementasinya di Indonesia,” ucap Yuliot ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (31/1/2025).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *