AI di Bidang Kesehatan Mulai Diterapkan, Ini yang Perlu Diketahui

Penggunaan AI harus tetap sesuai dengan peraturan kesehatan dan perlindungan data yang berlaku untuk menghindari pelanggaran hukum.

Kecerdasan buatan teknologi alias artificial intelligence (AI) menjadi kebutuhan dalam pelayanan publik seperti sektor kesehatan. Karenanya pemanfaatan AI dalam pelayanan kesehatan mesti dimaksimalkan seiring dengan penguatan regulasi yang mengaturnya.

Partner Dentons HPRP, Nashatra Prita, menekankan pentingnya regulasi yang adaptif agar pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) di sektor kesehatan dapat berkembang tanpa menghambat inovasi bisnis.

Namun, ia mengingatkan penyedia jasa kesehatan, sebagai pihak yang menerima manfaat dari pasien, harus memastikan adanya persetujuan sebelum melakukan transfer data. Kepatuhan terhadap aspek legal ini menjadi krusial guna melindungi hak pasien sekaligus menjaga kepercayaan terhadap sistem kesehatan berbasis teknologi.

“Gap inilah yang perlu diisi dan diatur oleh regulasi,” jelas Nashatra dalam Diskusi Publik Dentons HPRP Law and Regulation Outlook 2025 “Masa Depan Sektor Strategis di Pemerintahan Baru: Zonasi Lahan Data Center dan Terobosan AI di Sektor Kesehatan”, Kamis (20/2/2025).

Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam sektor kesehatan semakin berkembang dan tidak dapat dihindari. Teknologi ini berperan dalam meningkatkan efisiensi, akurasi, serta kualitas pelayanan medis, sekaligus membantu mengatasi tantangan. Seperti keterbatasan tenaga medis, tingginya biaya layanan, serta kompleksitas pengelolaan data kesehatan.

Dalam dunia medis, penerapan kedokteran presisi berbasis AI memungkinkan identifikasi individu yang berisiko tinggi terkena kanker. Kemudian diagnosis subtipe kanker yang lebih spesifik, serta evaluasi respons pasien terhadap pengobatan tertentu.

Sementara itu, predictive medicine memanfaatkan analisis data untuk memprediksi kemungkinan munculnya penyakit, membantu diagnosis dini, serta meningkatkan efektivitas perawatan dan pencegahan penyakit.  Namun seiring dengan peluang besar yang ditawarkan AI di bidang kesehatan, Nashatra mengatakan terdapat sejumlah tantangan hukum yang perlu diperhatikan.

“Pertama, pengelolaan data pribadi pasien. Pengumpulan dan transfer rekam medis yang diproses oleh AI berpotensi menimbulkan risiko privasi dan kebocoran data,” jelas alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Kemudian, isu lainnya adalah keamanan penyimpanan data. Perlindungan terhadap rekam medis dari pengungkapan yang tidak sah serta ancaman serangan siber menjadi prioritas utama dalam menjaga privasi pasien.

Selain itu, kepastian hukum terkait tanggung jawab atas kesalahan AI juga menjadi sorotan. Ketika AI memberikan diagnosis atau rekomendasi medis tidak akurat, perlu ada regulasi mengenai pihak yang bertanggung jawab.

Perlindungan data biomedis dan genomik pasien juga menjadi tantangan penting. Pengelolaan data ini harus mengikuti standar keamanan yang ketat guna mencegah penyalahgunaan.

“Namun, hingga kini, belum ada regulasi khusus yang secara spesifik mengatur penggunaan AI dalam pelayanan kesehatan,” ujarnya.

Selain itu, kepatuhan terhadap regulasi yang sudah ada juga menjadi tantangan bagi pelaku industri. Penggunaan AI harus tetap sesuai dengan peraturan kesehatan dan perlindungan data yang berlaku untuk menghindari pelanggaran hukum.

Tantangan lain yang berpotensi muncul adalah sengketa paten. Pemanfaatan AI dalam analisis data pasien dan genomik dapat menimbulkan konflik terkait hak paten, sehingga diperlukan regulasi yang jelas untuk mengantisipasi permasalahan ini.

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, menurut Nashatra penting bagi pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, industri, dan praktisi hukum bekerja sama dalam membangun kerangka hukum yang jelas dan komprehensif. Dengan demikian, pemanfaatan AI dalam pelayanan kesehatan dapat dilakukan secara optimal tanpa mengorbankan keamanan dan hak privasi pasien.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *