AI Judges: Masa Depan Peradilan

Pemerintah dan institusi hukum harus berperan aktif dalam mempersiapkan regulasi, infrastruktur, serta sumber daya manusia yang mampu mengelola sistem AI dengan baik. Ke depan, AI dapat menjadi instrumen penting dalam mendukung modernisasi sistem peradilan Indonesia, tetapi penggunaannya harus tetap berlandaskan hukum, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Perkembangan Artificial Intelligence (AI) telah membawa dampak besar dalam berbagai sektor, termasuk dalam sistem peradilan. Salah satu inovasi yang paling kontroversial adalah AI Judges, di mana sistem berbasis AI digunakan untuk mengambil keputusan hukum dalam suatu perkara. Beberapa negara telah mulai menguji penggunaan AI dalam proses peradilan, terutama untuk menangani perkara ringan dan administratif. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah AI dapat menggantikan peran hakim sepenuhnya, atau hanya sebagai alat bantu dalam sistem peradilan?

Dalam sistem hukum modern, hakim memiliki peran krusial dalam menegakkan keadilan dengan mempertimbangkan tidak hanya hukum positif, tetapi juga nilai moral, prinsip keadilan substantif, dan pertimbangan sosiologis dalam setiap putusannya. Dalam adagium hukum dikenal fiat justitia ruat caelum, yang berarti keadilan harus ditegakkan, meskipun langit runtuh. Prinsip ini mengisyaratkan keadilan harus berdiri di atas segala kepentingan lainnya. Karena itu, penerapan AI dalam sistem peradilan harus mempertimbangkan tidak hanya efisiensi, tetapi juga keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.

China merupakan salah satu negara yang paling agresif dalam mengembangkan sistem AI Judges. Pada tahun 2019, Mahkamah Agung Rakyat China (Supreme People’s Court) meluncurkan pengadilan internet (Internet Courts) yang menggunakan AI untuk menangani kasus-kasus ringan, terutama sengketa e-commerce dan hak kekayaan intelektual. Salah satu inovasi utama adalah sistem “Xiao Fa”, yang diterapkan di Hangzhou Internet Court. AI ini mampu menganalisis dokumen hukum, memberikan rekomendasi putusan, dan bahkan memberikan alasan hukum dalam putusannya. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan hakim manusia. Keunggulan dari sistem ini adalah kecepatan dan efisiensi, di mana kasus yang biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan dapat diselesaikan dalam hitungan hari. Namun, banyak kritikus yang menyoroti bahwa sistem ini masih memiliki keterbatasan dalam memahami aspek keadilan substantif, terutama dalam kasus yang melibatkan aspek moral, sosial, dan hak asasi manusia.

Estonia, sebagai salah satu negara dengan tingkat digitalisasi tertinggi di dunia, sempat mengembangkan proyek “Robot Judge” untuk menangani sengketa keuangan kecil dengan nilai di bawah €7.000. Tujuan utama dari proyek ini untuk mengurangi beban kerja hakim manusia dan mempercepat proses penyelesaian sengketa. Namun, pada tahun 2022, Kementerian Kehakiman Estonia menyatakan mereka tidak mengembangkan AI Judges untuk membuat keputusan final. Sebaliknya, AI hanya digunakan sebagai alat bantu dalam analisis kasus dan penyusunan dokumen hukum. Keputusan ini menunjukkan bahwa meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi, ada kekhawatiran besar terhadap akurasi dan keadilan dalam sistem AI Judges. Estonia lebih memilih pendekatan hibrida, di mana AI digunakan untuk membantu hakim, tetapi tidak menggantikan keputusan manusia sepenuhnya.

Di Amerika Serikat, sistem hukum common law lebih menekankan pada preseden hukum (stare decisis) dan kebebasan hakim dalam menafsirkan hukum berdasarkan kasus sebelumnya. Karena itu, penerapan AI Judges masih sangat terbatas. Namun, beberapa yurisdiksi telah mulai menggunakan AI dalam sistem peradilan, terutama dalam bidang penilaian risiko (risk assessment) dan prediksi keputusan hukum. Contohnya adalah sistem COMPAS (Correctional Offender Management Profiling for Alternative Sanctions), yang digunakan untuk menilai kemungkinan residivisme seorang terdakwa.

Meskipun AI dapat membantu dalam menyediakan analisis berbasis data, ada banyak kritik terhadap penggunaannya dalam sistem hukum AS. Sebuah studi yang dilakukan oleh ProPublica (2016) menemukan bahwa COMPAS cenderung bersikap bias terhadap kelompok minoritas, di mana terdakwa kulit hitam lebih sering dinilai memiliki risiko tinggi untuk melakukan kejahatan kembali, meskipun memiliki latar belakang kriminal yang serupa dengan terdakwa kulit putih. Kasus ini menunjukkan bias algoritma (algorithmic bias) dalam AI Judges merupakan salah satu tantangan utama yang harus diatasi sebelum AI dapat digunakan secara lebih luas dalam sistem peradilan.

Meskipun AI menawarkan berbagai keunggulan dalam efisiensi dan aksesibilitas, ada beberapa tantangan besar yang harus diperhatikan sebelum AI dapat digunakan dalam sistem peradilan yaitu kurangnya pemahaman terhadap aspek moral dan kemanusiaan, potensi bias dalam algoritma, serta kekhawatiran terhadap keamanan data dan privasi. AI tidak memiliki kesadaran moral atau empati, yang merupakan elemen penting dalam pengambilan keputusan hukum. Dalam adagium hukum, dikenal prinsip summum ius, summa iniuria, yang berarti penerapan hukum yang terlalu ketat tanpa memperhitungkan keadilan dapat menyebabkan ketidakadilan yang lebih besar.

Selain itu, AI hanya dapat memberikan putusan berdasarkan data yang digunakan untuk melatihnya. Jika data tersebut memiliki bias, maka keputusan AI juga akan bias. Hal ini berpotensi melanggar asas equality before the law, yang dijamin dalam UUD NRI 1945 dan prinsip audi alteram partem (setiap pihak harus didengar). Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah keamanan data dan privasi, karena penerapan AI dalam peradilan memerlukan akses ke data sensitif, termasuk dokumen hukum dan rekam jejak. Jika sistem AI tidak memiliki protokol keamanan yang kuat, maka ada risiko kebocoran data yang dapat membahayakan integritas sistem hukum.

Indonesia memiliki sistem hukum civil law, di mana hakim memiliki kewenangan yang lebih luas dalam menafsirkan hukum berdasarkan prinsip kepastian hukum dan keadilan. Oleh karena itu, penerapan AI Judges harus dilakukan dengan pendekatan bertahap dan hati-hati. Beberapa langkah yang dapat diambil Indonesia dalam mengadopsi AI dalam sistem peradilan adalah menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti hakim, menyusun regulasi yang jelas tentang AI dalam peradilan, serta mengembangkan sistem AI yang transparan dan dapat diaudit.

AI dapat digunakan untuk menganalisis dokumen hukum, menyusun draf putusan, dan memberikan rekomendasi hukum, tetapi keputusan akhir tetap harus berada di tangan hakim manusia. Regulasi AI harus mencakup standar etika, batasan wewenang AI, serta mekanisme akuntabilitas jika terjadi kesalahan dalam sistem AI. Data yang digunakan untuk melatih AI harus representatif dan dapat diaudit, guna menghindari bias algoritma yang dapat merugikan kelompok tertentu. Indonesia juga harus meningkatkan kapasitas SDM di bidang hukum agar hakim dan pengacara dapat memahami bagaimana menggunakan AI secara bertanggung jawab dalam sistem peradilan.

Dengan pendekatan yang hati-hati, AI dapat menjadi alat bantu yang mempercepat proses hukum, mengurangi kesalahan manusia, dan mendukung transparansi sistem peradilan pidana, tanpa menghilangkan aspek kemanusiaan dalam penegakan hukum di Indonesia. Penerapan teknologi ini harus dilakukan secara bertahap dan diawasi dengan ketat agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap keadilan substantif dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemerintah dan institusi hukum harus berperan aktif dalam mempersiapkan regulasi, infrastruktur, serta sumber daya manusia yang mampu mengelola sistem AI dengan baik. Ke depan, AI dapat menjadi instrumen penting dalam mendukung modernisasi sistem peradilan Indonesia, tetapi penggunaannya harus tetap berlandaskan hukum, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan.

*) Dr. Zico Junius Fernando, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUKPIKI) dan Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI)

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *