Mekanisme pemberian penghargaan seperti dalam hal pengungkapan korupsi dapat diadopsi dalam hal koreksi peraturan perundang-undangan di peradilan melalui revisi UU MK dan UU MA. Salah satu cara yang dapat dilakukan memberi piagam bagi pihak yang berhasil memenangkan pengujian perundang-undangan serta insentif lain berupa premi yang terukur.
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) menjadi saluran konstitusional yang dapat dijadikan cara bagi masyarakat untuk mempertahankan haknya sesuai yang diatur hukum dan konstitusi. Dalam praktiknya, MK tidak hanya memutus pengujian materil yakni berkenaan tentang substansi dari undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Melainkan MK juga berwenang menguji UU secara formil yakni berkenaan dengan prosedur pembentukan dari UU.
Pengujian formil di sini melihat apakah pembentukan UU sudah dilakukan dengan cara yang tepat, oleh lembaga yang tepat, dan dalam kewenangan yang tepat. Sebagai contoh, MK pernah mengabulkan pengujian formil terhadap permohonan Zainal Arifin Mochtar dkk. yang menguji prosedur pembentukan UU Mahkamah Agung di tahun 2009. Meskipun pada akhirnya MK tetap menguatkan keberlakuan hukum dari UU MA dengan alasan menghindari kekosongan hukum. Namun satu hal penting ialah MK menyatakan pembentuk UU dalam hal ini telah melakukan kesalahan prosedur karena minimnya partisipasi publik.
Contoh terakhir yang masih lekat di ingatan publik saat MK mengabulkan permohonan 91/PUU-XVIII/2020 yang menguji secara formil UU Cipta Kerja. MK dalam hal ini menyatakan pembentuk UU (pemerintah dan DPR) telah melakukan kesalahan prosedur dalam hal minimnya partisipasi publik yang bermakna dan kesalahan penggunaan metode omnibus law dalam pembentukan undang-undang yang tidak pernah diatur oleh UU Pembentukan Perundang-Undangan sebelumnya.
Pada akhirnya, selain menyatakan pembentuk UU melakukan kesalahan prosedural dalam pembentukan UU, MK pun juga menyatakan keberlakuan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Proses serupa pun juga terjadi di MA, sebagai contoh MA pernah memenangkan perkara hak uji materil yang diajukan oleh masyarakat. Contohnya, MA memenangkan hak uji materi terhadap perkara 27 P/HUM/2016 yang membatalkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di tujuh kota.
Dari beberapa contoh kasus di atas, membuktikan bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan dalam hal ini dapat melakukan kesalahan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Kesalahan tersebut bisa disebabkan baik karena faktor substansi dari peraturan tersebut, maupun cara pembentukan peraturan yang mengabaikan partisipasi yang bermakna atau menerabas ketentuan peraturan perundang-undangan.
Posisi Masyarakat dan Negara
Dalam proses peradilan yang inparsial, kedudukan masyarakat diposisikan seimbang dengan negara. Kondisi tersebut sejatinya berpangkal dari adanya kondisi yang tidak seimbang antara masyarakat dan negara akibat atribut yang dimilikinya.
Sebagai ilustrasi, negara memiliki segala atribut untuk menjalankan proses perumusan, pembahasan, dan menjalankan peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian tidak dimiliki oleh masyarakat yang memiliki keterbatasan baik dari segi political power, kewenangan, dan keterbatasan sumber daya logistik.
Kendati begitu, ketika negara yang dalam hal ini dijelmakan melalui pembentuk peraturan perundang-undangan melakukan kesalahan yang didasari oleh putusan pengadilan, aturan perundang-undangan tidak pernah mengatur konsekuensi dari hal tersebut. Padahal, ketika perundang-undangan tersebut telah berlaku, maka kemungkinan pihak yang akan dirugikan adalah masyarakat.
Di lain sisi, pihak yang dirugikan tersebut guna memulihkan haknya perlu mengeluarkan effort yang lebih besar dalam melakukan pengujian. Misalnya saja untuk mendapatkan legal standing dalam berperkara, pemohon perlu membuktikan adanya kaitan secara konkret sebab akibat (causal verband) antara materi perundang-undangan yang dimaksud dengan kerugian yang diderita.
Terlebih, dalam konteks pembuktian pengujian perundang-undangan belum secara eksplisit mengadopsi proses pembuktian terbalik. Sehingga beban pembuktian akan sepenuhnya berada di pihak pemohon. Tentu ini menjadi beban yang tidak seimbang bagi pemohon sebab pembentuk perundang-undangan merupakan pihak yang memiliki akses besar terhadap informasi jalannya pembahasan, daftar substansi, termasuk para pihak yang didengar dalam proses perumusan.
Ditambah fakta lainnya untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan di MA, pemohon dibebankan biaya perkara sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah). Itupun melalui mekanisme persidangan tertulis yang sepenuhnya dilakukan secara tertutup. Pun apabila kerugian tersebut sudah terbukti, pihak yang mengajukan tidak memiliki mekanisme pemulihan dari keberlakuan peraturan tersebut. Padahal, peraturan yang menjadi objek pengujian di MA dan MK biasanya dapat langsung dieksekusi dan mengikat (final and binding), sehingga kerugian pemohon bisa saja sudah terjadi sebelum peraturan tersebut dicabut melalui proses peradilan.
Belum lagi dengan jangka waktu yang tidak pasti. Sebagai tambahan, rata-rata pemeriksaan pengujian uji materil di MA adalah sekitar 3 bulan, sedangkan dalam konteks MK sekitar 3-4 bulan. Artinya, para pemohon membutuhkan waktu yang cukup lama untuk adanya kepastian akibat kerugian dari adanya suatu peraturan. Lantas dari fakta-fakta tersebut, bukankah sudah seyogianya negara mulai meninjau wacana pemberian insentif bagi penguji peraturan perundang-undangan?
Wacana Pemberian Insentif Bagi Penguji Peraturan Perundang-Undangan
Negara dalam hal ini kiranya perlu meninjau untuk memberikan insentif bagi pemohon pembentuk perundang-undangan yang melakukan koreksi baik substantif dan prosedur pembentukan perundang-undangan. Sebagai perbandingan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 telah diatur mengenai pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
PP tersebut memberikan pedoman masyarakat yang berperan aktif dalam melaporkan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan yang diberikan dalam bentuk piagam dan premi yakni sebesar 2 persen dari kerugian negara, ataupun hasil pemulihan dari hasil tindak pidana korupsi paling besar sejumlah 200 juta rupiah. Adapun besaran pemberian penghargaan tersebut didasari pada pengembalian kerugian yang dengan terlebih dahulu terdapat putusan berkekuatan hukum tetap, serta melalui penilaian terhadap kualitas data dilaporkan, tingkat risiko dalam hal pengungkapan, dan peran pelapor dalam pengungkapan korupsi.
Sejatinya, kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pembentukan perundang-undangan dan tindak pidana korupsi adalah sama-sama masyarakat luas. Selain itu, dalam hal pengujian peraturan dan tindak pidana korupsi, perlu terlebih dahulu didasari oleh bukti permulaan yang mengindikasikan terjadinya kerugian. Tentu hal demikian memerlukan usaha yang tidak mudah terlebih yang dihadapi memiliki posisi yang tidak seimbang.
Dengan demikian, mekanisme pemberian penghargaan seperti dalam hal pengungkapan korupsi dapat diadopsi dalam hal pengkoreksian perundang-undangan di peradilan. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan diberikannya piagam bagi pihak yang berhasil memenangkan pengujian perundang-undangan serta insentif lain berupa premi yang terukur. Mengenai besaran premi tersebut dapat dinilai berdasarkan kerugian yang diderita akibat berlakunya suatu perundang-undangan, tingkat kesulitan pengungkapan kerugian dalam perundang-undangan, serta peran serta para pihak dalam membuktikan kerugian tersebut.
Terakhir, mengenai teknis pemberian insentif dapat dibebankan pada penganggaran yang tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tentu dengan proporsi yang wajar dan sesuai dengan penilaian yang terukur.
Secara objektif, tujuan dari pemberian insentif bagi pemohon pengujian peraturan yang berhasil membuktikan kerugian haknya baik secara individu maupun kolektif memberikan dorongan positif bagi masyarakat untuk berani mempertahankan haknya di muka pengadilan. Di sisi lain, hal tersebut juga menjadi dorongan bagi pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) dan peraturan perundang-undangan di bawahnya (pemerintah) untuk semakin berhati-hati dalam membentuk suatu peraturan yang melindungi kepentingan masyarakat lebih luas serta taat terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Di lain sisi, hal demikian juga dapat meningkatkan pamor lembaga peradilan dalam rangka meningkatkan kualitas permohonan yang dimohonkan pemohon. Sebabnya, peradilan pengujian perundang-undangan tidak hanya peradilan yang mengujikan norma dan menilai bentuk ideal dari perundang-undangan. Lebih jauh dari itu, masyarakat diberikan jaminan dengan mengujikan suatu norma, dapat benar-benar memulihkan kerugian haknya secara ril. Akibatnya, akan meningkatkan keseriusan pemohon dalam melakukan pengujian.
Jikalau nanti kembali digulirkan revisi Undang-Undang MK dan Undang-Undang MA, harapanya ketentuan soal insentif sudah seyogianya menjadi perhatian pembentuk UU. Alih-alih mengatur hal-hal yang lebih bersifat politis seperti syarat menjadi hakim, batas periodisasi hakim, serta hal-hal lain yang berpotensi memasung, atau sebaliknya membuat lembaga kehakiman menjadi super power.