Mulai dari absennya akses terhadap keadilan, biaya penempatan, akses hukum di negara penempatan, tidak mengakui kontrak mandiri, gagal memahami tren migrasi global, mendiskriminasi perlindungan, sampai partisipasi pekerja migran dalam kebijakan.
Substansi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) dikritik kalangan organisasi masyarakat sipil yang fokus membidangi isu perlindungan pekerja migran. Alih-alih mengoptimalkan perlindungan, substansi RUU justru sebaliknya menambah tingkat kerawanan pekerja migran.
Ketua Umum International Migrants Alliance (IMA), Eni Lestari, mencatat RUU PPMI sedikitnya memuat 7 kesalahan fatal. Pertama, pemerintah sibuk mengubah tata kelola, tapi sejak UU PPMI terbit 2017 tidak pernah diatur akses terhadap keadilan bagi pekerja migran dan korban. Kedua, pemerintah mengklaim akan menjamin tidak ada pemungutan biaya penempatan.
“Faktanya semua pekerja migran Indoenesia dipungut biaya penempatan sangat mahal sampai ratusan juta rupiah,” kata mantan pekerja migran sektor domestik itu dalam diskusi di Komnas Perempuan, Jumat (14/03/2025) kemarin.
Ketiga, pemerintah tidak mengatur mekanisme hukum yang bisa diakses pekerja migran Indonesia di negara penempatan. Asa pekerja migran mendapat keadilan harus pupus karena penanganan berlarut sebab kasusnya dipingpong antara BP2MI dan Kementerian Ketenagakerjaan. Ujungnya, pekerja migran Indonesia tidak mendapat hak-haknya.
Keempat, kontrak mandiri pekerja rumah tangga (PRT) migran tak dijamin dan dilarang RUU PPMI tanpa alasan yang logis. Padahal kontrak mandiri sebagai upaya pekerja migran untuk bebas dari eksploitasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dan agen penempatan. “Seluruh dokumen pekerja migran ditahan P3MI dan agen, ini tidak mendapat perhatian pemerintah padahal kasusnya marak. Apa yang dikerjakan pemerintah jika hak-hak pekerja migran tidak ditegakkan,” ujarnya.
Kelima, pemerintah gagal memahami pola migrasi global yang mengalami perubahan. Tren migrasi terkini di berbagai negara relatif semakin bebas melakukan mobilitas lintas negara. Misalnya, migrasi jangka pendek yang difasilitasi otoritas negara dengan menerbitkan visa pendek hanya 3 bulan sampai 1 tahun. Justru RUU PPMI tidak menyiapkan ketentuan untuk menghadapi peluang tersebut.
Keenam, RUU PPMI mendiskriminasi pekerja migran karena yang mendapat perlindungan hanya pekerja migran prosedural. Padahal apapun statusnya, pemerintah wajib melindungi seluruh pekerja migran Indonesia. Pekerja migran yang statusnya prosedural dan non-prosedur sama-sama menjadi pahlawan devisa bagi Indonesia lewat uang yang dikirim dari negara penempatan ke tanah air.
Ketujuh, Eni mengingatkan tahun 2016 lalu di forum PBB IMA pernah mengingatkan dalam menyusun kebijakan harus melibatkan pekerja migran. Tanpa partisipasi bermakna dari pekerja migran kebijakan itu tidak akan bermanfaat dan justru menyusahkan. “Revisi UU PPMI ini untuk siapa dan menguntungkan siapa?” tanya Eni.
Pada kesempatan yang sama Seknas Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardhani, mengatakan naskah akademik dan RUU yang diterima jaringan advokasi 30 januari 2025 memuat landasan sosiologis yang menekankan pengoptimalan terhadap sumber daya dan investasi tanpa mengutamakan perlindungan bagi pekerja migran. Padahal yang dibutuhkan adalah memperkuat pengawasan.
RUU PPMI malah memberi ruang lebar bagi P3MI untuk merekrut pekerja migran. Ketentuan itu menurut Savitri menambah kerentanan pekerja migran, apalagi pengawasan sudah dilemahkan sebelumnya melalui UU Cipta Kerja. P3MI tidak lagi diwajibkan untuk menyerahkan laporan tentang perlindungan terhadap pekerja migran yang ditempatkan. Laporan itu berfungsi sebagai instrumen pengawasan karena sebagai syarat untuk pembaruan dan perpanjangan izin P3MI. Celah pengawasan itu justru tidak dibenahi RUU PPMI.
“RUU PPMI tidak boleh menurunkan kualitas UU PPMI, harusnya memperkuat pengawasan dan melindungi pekerja migran dari kerentanan,” usul Savitri.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan Komnas HAM mendukung penuh pernyataan sikap yang disampaikan Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI. Pernyataan itu penting ditindaklanjuti DPR dan pemerintah dalam menyusun RUU PPMI. Revisi UU PPMI harus selaras instrumen HAM internasional yang mayoritas mengatur hak atas pekerjaan yang layak.
Anis mengingatkan UU PPMI beberapa kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). RUU PPMI harus menindaklanjuti putusan MK tersebut misalnya terkait sanksi pidana bagi P3MI, persyaratan P3MI, dan anak buah kapal (ABK). Tujuan revisi memperkuat perlindungan pekerja migran dan mengedepankan tata kelola migrasi berbasis HAM
“Perlindungan terhadap pekerja migran tidak boleh mengalami kemunduran. Belum efektifnya implementasi UU PPMI membuat pekerja migran menghadapi berbagai kerentanan dan pelanggaran HAM,” urainya.
Pekerja migran dan komunitasnya serta organisasi masyarakat sipil yang fokus membidangi isu migrasi harus dilibatkan secara maksimal dalam pembahasan RUU PPMI. Perspektif HAM, perlindungan terhadap perempuan dan gender menjadi hal utama untuk dibahas.