Danantara digadang-gadang sebagai superholding yang dibentuk untuk mengkonsolidasikan aset-aset strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya, meningkatkan daya saing, efisiensi, dan transparansi dalam pengelolaan perusahaan negara. Konsep ini diharapkan dapat memperkuat struktur ekonomi nasional sekaligus mendorong pertumbuhan investasi.
Mengenai hal ini, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) melalui Program Studi Doktor Ilmu Hukum menyelenggarakan seminar bertajuk ‘Kajian Hukum dan Keekonomian Superholding Danantara’. Seminar ini membahas implikasi yuridis dan ekonomis dari pembentukan Danantara sebagai superholding yang mengonsolidasikan aset-aset strategis BUMN.
Kegiatan ini menghadirkan akademisi sekaligus praktisi hukum Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Nindyo Pramono dan Tito Sulistio selaku Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan.
Konsep Danantara ini dipandang sebagai kebijakan strategis yang bertujuan meningkatkan daya saing BUMN. Tak saja comparative advantage, competitive advantage, tapi juga compact advantage. Dengan sistem manajemen keuangan yang lebih baik, diharapkan optimalisasi dividen dan investasi dapat tercapai, serta efisiensi dalam pendanaan investasi untuk pengembangan usaha.
Sejalan dengan arahan strategis presiden dalam pengelolaan aset negara, Tito Sulistio yang juga pernah menjadi Direktur Utama Bursa Efek Indonesia ini mengatakan presiden menegaskan komitmennya untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan menghidupkan kembali amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dalam kebijakan pengelolaan aset dan kekayaan negara.
“Salah satu langkah strategis yang diambil adalah konsolidasi seluruh entitas ekonomi, guna memaksimalkan pemanfaatan sumber daya dan kekuatan nasional,” ujar Tito dalam Seminar Hukum dan Ekonomi Kajian Hukum dan Keekonomian Superholding Danantara yang diselenggarakan oleh Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Kamis (20/3/2025).
Ia menyampaikan, presiden menargetkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inklusif, dan berkualitas dalam lima tahun ke depan. Untuk mencapai hal tersebut, berbagai tantangan perlu diatasi, mulai dari konstruksi hukum badan usaha, efisiensi dan efektivitas pengelolaan, transparansi, hingga tata kelola yang mengoptimalkan keunggulan komparatif Indonesia.
“Selain itu, tantangan lain yang perlu diperhatikan adalah risiko crowding out, di mana dominasi entitas besar bisa menghambat pertumbuhan sektor lain, serta potensi tender offer dan default surat utang yang dapat mempengaruhi stabilitas keuangan negara,” lanjut Tito.
Sebagai superholding, Danantara diberi mandat untuk mengkonsolidasikan aset-aset penting BUMN guna memaksimalkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi UUD 1945. Beberapa sektor yang menjadi fokus utama dalam peningkatan daya saing global antara lain perbankan, telekomunikasi, serta energi yang selama ini dikelola oleh PLN dan Pertamina.
Dari aspek hukum, pembentukan Danantara didasarkan pada UU No.1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, yang mengharuskan adanya dukungan regulasi operasional dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), serta aturan teknis mengenai tata kelola yang efektif dan akuntabel.
Regulasi ini diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, merata, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, konsep Privatisasi Berkerakyatan juga menjadi isu hukum yang perlu dikaji dan disinergikan. Terutama terkait dengan status kekayaan negara yang dipisahkan sebagai modal BUMN dalam skema superholding Danantara.
Secara normatif, Pasal 1A UU 1/2025 menegaskan bahwa penyelenggaraan BUMN berasaskan demokrasi ekonomi, yang mencakup kebersamaan, efisiensi berkeadilan, keberlanjutan, wawasan lingkungan, keseimbangan, kemajuan, serta kesatuan ekonomi nasional. Prinsip-prinsip ini harus dijalankan dengan tata kelola perusahaan yang baik, yang berlandaskan transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran.
Kehadiran Danantara tidak sekadar tentang benar atau salahnya sebuah kebijakan, tetapi lebih kepada bagaimana kebijakan baru ini dikawal dengan baik. Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Nindyo Pramono mengimbau untuk tidak melihat terlalu dini dalam menilai apakah Danantara akan berhasil atau tidak dalam waktu yang masih sangat singkat ini.
Keberhasilan superholding ini tidak hanya ditentukan oleh konsepnya, tetapi juga oleh bagaimana ia dikelola. Jika Danantara dijalankan secara profesional dengan prinsip transparansi dan tata kelola yang baik, maka potensi manfaatnya bagi ekonomi nasional bisa optimal.
Namun, jika pengelolaannya tidak profesional, dampaknya bisa berujung pada ketidakpuasan publik, bahkan memicu kemarahan rakyat karena aset negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan justru tidak memberikan hasil yang diharapkan.
“Belum saatnya kita menilai Danantara itu berhasil atau tidak dari waktu yang singkat ini. Kita lihat dulu apakah Danantara ini dikelola profesional. Kalau tidak, imbasnya rakyat pasti bakal marah,” pungkasnya.