Proses Revisi UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) mulai memasuki tahap pembahasan. Sejumlah pemangku kepentingan mulai dimintakan pandangannya. Salah duanya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti perubahan KUHAP.
Kedua lembaga ini menegaskan pentingnya memastikan bahwa perubahan dalam KUHAP mendukung perlindungan HAM dan memberikan perhatian khusus dalam rangka menguatkan sistem peradilan yang lebih adil dan responsif.
Wakil Ketua Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menegaskan revisi KUHAP merupakan momen penting untuk memastikan sistem hukum di Indonesia sejalan dengan prinsip-prinsip HAM. Negara hukum yang baik perlu menjamin perlindungan HAM, terutama dalam sistem peradilan pidana yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim.
“Salah satu tujuan revisi KUHAP adalah untuk mengurangi pelanggaran terhadap HAM. Khususnya, dalam hal penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya,” ujar Semendawai dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Baca juga:
Dia menyorot pentingnya memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan norma-norma internasional, mengingat Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional. Komnas HAM menurut Semendawai menyatakan keprihatinannya terkait adanya praktik penyiksaan dalam proses hukum yang belum sepenuhnya diatasi. Sehingga, hal ini memerlukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku penyiksaan, serta perlindungan terhadap korban yang seringkali terlupakan.
Sementara Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi berpandangan mengenai perlunya sistem peradilan yang lebih responsif terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan. Tak jarang dalam proses peradilan perempuan mendapatkan tekanan, kriminalisasi, bahkan tidak mendapatkan keadilan yang sesuai.
Perempuan berhijab biasa disapa Ami ini menjelaskan konsep Sistem Peradilan Terpadu Berbasis Kekerasan Terhadap Perempuan (SPDT-PKTP) perlu diterapkan. Tujuannya agar perempuan yang menjadi korban kekerasan, baik sebagai saksi maupun tersangka dapat memperoleh perlindungan yang lebih baik.
“SPDT-PKTP merupakan sistem yang memastikan semua pihak terkait dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Bekerja secara kolaboratif untuk memberikan perlindungan, layanan, dan pemulihan bagi korban,” terang Ami.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mengingatkan pentingnya penguatan peran advokat dalam memastikan hak-hak korban kekerasan dapat terlindungi, dengan memberikan kebebasan bagi advokat untuk menyampaikan kasus melalui media jika diperlukan. Hak korban untuk mendapatkan perlindungan sementara dan layanan pemulihan harus diintegrasikan lebih baik dalam sistem peradilan pidana.
Terkait dengan masalah penahanan, Ami mengusulkan agar penahanan berbasis rumah lebih dimaksimalkan. Terutama bagi perempuan yang sedang hamil atau memiliki anak di bawah umur.
“Penahanan di rumah akan lebih ramah terhadap kondisi perempuan dan dapat menguarangi pelanggaran hak asasi,” katanya.
Komnas HAM dan Komnas Perempuan berharap agar revisi KUHAP dapat memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia, dengan menempatkan HAM dan perlindungan terhadap korban kekerasan sebagai prioritas utama. Kedua lembaga ini juga menyerukan transparansi dalam proses penyusunan undang-undang dan memastikan partisipasi masyarakat.
Khususnya kelompok-kelompok yang paling rentan, seperti perempuan dan anak-anak, dalam setiap tahap perundang-undangan. Dengan adanya revisi ini, kedua lembaga mengimbau sistem peradilan Indonesia untuk dapat lebih menghormati dan melindungi HAM, serta menciptakan keadilan yang lebih setara bagi semua pihak.