Kita tahu, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor) membuka celah bagi hukuman mati, terutama dalam keadaan tertentu seperti bencana alam atau krisis. Pandemi Covid-19 bisa dianggap sebagai keadaan tersebut. Tetapi dalam praktiknya, adakah preseden untuk ini?
Di ruang sidang, hukum selalu bersisian dengan politik, dengan kepentingan, dengan tafsir. Sejarah menunjukkan sejak Indonesia merdeka, belum pernah ada koruptor yang benar-benar dieksekusi mati. Bahkan ketika vonis mati pernah dijatuhkan pada Jusuf Muda Dalam, Gubernur Bank Indonesia pada tahun 1967, eksekusi tak pernah terjadi. Ia meninggal dalam tahanan sebelum peluru regu tembak sempat menyelesaikan pekerjaannya.
Di negeri ini, kita lebih sering melihat koruptor keluar masuk penjara dengan hukuman yang terasa lebih ringan dibanding dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan. Ada yang mendapat remisi, ada yang setelah beberapa tahun kembali ke panggung politik atau bisnis. Jadi, benarkah kali ini berbeda? Atau hanya sekadar bunyi genderang yang tak berbunyi lama?
Keadaan Tertentu dan Tafsir Hukum
Pertama-tama, mari kita telaah lebih jauh soal “keadaan tertentu” yang sering disebut dalam UU Pemberantasan Tipikor.
Di beberapa negara, korupsi dianggap sebagai kejahatan yang lebih berat dari pembunuhan. Alasannya sederhana: seorang pembunuh bisa menghilangkan nyawa satu orang, tetapi koruptor, dengan kebijakan atau manipulasi angkanya, bisa membunuh ribuan, secara perlahan, dalam diam, melalui rumah sakit yang kekurangan fasilitas, jalanan yang berlubang, atau harga bahan pokok yang melonjak akibat permainan pasar.
Namun, hukuman mati di Indonesia selalu menjadi perdebatan panjang. Para pendukungnya berargumen bahwa hukuman ini adalah efek jera, bahwa di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi, penghukuman berat bagi koruptor bisa menjadi simbol keadilan. Tetapi adakah bukti bahwa hukuman mati benar-benar efektif menekan angka korupsi?
China sering dikutip sebagai contoh negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor, tetapi itu pun tidak menghapus korupsi sepenuhnya. Korea Selatan, meskipun lebih lunak dalam hukumannya, justru menunjukkan penurunan tingkat korupsi karena reformasi sistem dan peningkatan transparansi. Indonesia berada diantara keduanya. Hukumannya tegas dalam teks, tetapi lunak dalam eksekusi.
Jika benar tersangka kasus Pertamina nanti dihukum mati, maka itu akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia. Tetapi di negeri yang penuh kompromi, apakah vonis itu benar-benar akan dijalankan?
Hukum, Keadilan, dan Politik
Kita tidak bisa melepaskan hukum dari politik. Korupsi besar selalu melibatkan lebih dari sekadar angka dan pelaku. Ia adalah jaringan, sistem, dan kepentingan.
Jika hukuman mati benar-benar diterapkan dalam kasus ini akan muncul pertanyaan yang lebih besar: apakah ini menjadi awal dari era baru pemberantasan korupsi, atau sekadar teater politik untuk meredakan kemarahan publik?
Ada preseden yang perlu diingat. Setiap kali skandal korupsi besar mencuat, selalu ada janji untuk “menghukum seberat-beratnya.” Tetapi di balik layar, negosiasi terjadi, jaringan perlindungan bergerak, dan pelaku utama seringkali lolos dengan hukuman yang lebih ringan dari yang dibayangkan.
Terkadang, kita mendapati yang dihukum adalah mereka yang berada di lapisan tengah, bukan para perancang strategi besar.
Dalam kasus Pertamina, jika benar ada hukuman mati, maka itu bisa berarti dua hal. Pertama, negara ingin menunjukkan bahwa kali ini tidak ada kompromi, bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Kedua, dan ini lebih mungkin, hukuman mati dijadikan alat bargaining. Ancaman itu bisa menjadi instrumen negosiasi politik.
Mereka yang berada di posisi kunci bisa saja ditawari jalan keluar: memberikan informasi yang lebih besar, menyerahkan sebagian hasil korupsi, atau bahkan mengorbankan pihak lain demi menyelamatkan diri.
Di Indonesia, kita sudah sering melihat perkara besar yang awalnya mengancam nyawa seseorang, tetapi berujung pada hukuman yang bisa dikompromikan.
Mengadili Korupsi dengan Adil
Jika kita serius ingin menghukum koruptor dengan hukuman paling berat, maka kita harus bertanya lebih jauh: apakah sistem hukum kita sudah cukup kuat untuk menjamin bahwa vonis itu adil?
Ada banyak contoh di mana mereka yang kecil justru lebih mudah dijerat dibanding yang besar. Korupsi adalah kejahatan dengan banyak aktor, tetapi sistem hukum seringkali lebih cepat mengadili mereka yang lebih lemah dalam jaringan kekuasaan.
Seorang direktur atau komisaris bisa dihukum, tetapi bagaimana dengan mereka yang mengatur permainan dari jauh? Bagaimana dengan kebijakan yang memungkinkan kebocoran sistemik ini terjadi? Lebih jauh, jika kita berbicara tentang keadilan, maka hukuman mati juga harus mempertimbangkan konteks moral dan filosofisnya.
Dalam sistem hukum modern, hukuman mati semakin dipertanyakan. Kesalahan yudisial selalu ada, dan kita tahu bahwa sistem hukum kita tidak kebal dari pengaruh politik. Bagaimana jika vonis mati itu keliru? Bagaimana jika seseorang yang dihukum mati ternyata bukan dalang utama?
Akankah Eksekusi Itu Terjadi?
Sejarah berkata tidak. Indonesia telah berkali-kali menghadapi kasus korupsi besar, tetapi hukuman mati tetap menjadi wacana yang tak berujung realisasi.
Mungkin, pernyataan Jaksa Agung soal hukuman mati ini lebih merupakan guncangan, bukan kenyataan. Ia adalah pesan bagi publik bahwa negara serius, tetapi juga pesan bagi mereka yang terlibat bahwa negosiasi bisa terjadi.
Apakah ini langkah maju dalam pemberantasan korupsi? Mungkin. Tetapi jika ingin benar-benar menghukum koruptor seberat-beratnya, maka lebih dari sekadar hukuman mati yang dibutuhkan.
Sistem yang transparan, independensi hukum, serta keberanian untuk membongkar semua pihak yang terlibat, itulah yang seharusnya menjadi agenda utama.
Sebab, hukum yang adil tidak hanya soal seberapa keras hukuman dijatuhkan, tetapi juga siapa yang benar-benar dihukum. Dan di negeri ini, pertanyaan itu selalu lebih sulit dijawab.
*) Firdaus Arifin, Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Pasundan dan Sekretaris Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Barat
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline