BUMD, sebagai instrumen ekonomi daerah, seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Evaluasi menyeluruh terhadap BUMD adalah langkah krusial agar entitas bisnis daerah ini bisa berkontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
“Sebagai penduduk pulau-pulau yang tersusun di tengah-tengah jalan perhubungan pelayaran, sepatutnya orang Indonesia menjadi bangsa pelayar yang kuat bertindak dan kuat merantau. Tetapi penjajahan Belanda yang bermula dengan menanam kekuasaan monopoli dalam segala rupa, memusnahkan segala aktivitas orang Indonesia. Rakyat Indonesia tertunda hidupnya ke desa, hidup dengan segala genap. Hanya cita-cita untuk menjadi bangsa yang merdeka kembali berdasarkan persaudaraan segala bangsa, tetap padanya.”
Penggalan kalimat tersebut merupakan naskah pidato Mohammad Hatta yang begitu memantik rasa nasionalisme dan kebangsaan. Mohammad Hatta atau yang kita kenal Bung Hatta menilai bahwa akibat dari penjajahan yang dulu terjadi mengakibatkan sifat bangsa Indonesia yang ‘ekstrover’ menjadi lenyap. Padahal, kejayaan bangsa Indonesia di masa Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lainnya begitu melanglang buana.
Mohammad Hatta menyoroti bagaimana kolonialisme Belanda menggunakan monopoli sebagai alat penjajahan yang merampas ruang gerak ekonomi rakyat Indonesia, memaksa mereka untuk hidup dalam keterbatasan di pedesaan, serta menghancurkan kreativitas dan inisiatif ekonomi bangsa.
Jika kita dikaitkan dengan saat ini, setelah lebih dari tujuh dekade kemerdekaan itu diraih, Indonesia telah memiliki instrumen yang seharusnya dapat memperjuangkan kesejahteraan ekonomi rakyat, salah satunya adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Namun, setelah 78 tahun merdeka, pertanyaannya adalah: “Apakah semangat kemerdekaan yang diimpikan Hatta dan para pendiri bangsa telah terwujud dalam tata kelola pemerintahan kita?”
Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Artinya, pasal tersebut menjadi pintu masuk bahwa otonomi daerah dapat dilaksanakan di 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota di Indonesia sebagai hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbicara tentang pembangunan suatu daerah, maka tidak lepas dari yang namanya kemandirian secara fiskal. Menjalankan otonomi daerah kapasitas fiskal yang memadai dan kemandirian anggaran, agar daerah tidak terus bergantung pada transfer pusat. Meskipun kenyataanya, ada disparitas dari apa yang diharapkan dan apa yang terjadi sebenarnya.
Mengutip pernyataan dari Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia di Rapat Koordinasi Nasional Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD) Tahun 2024, bahwa: “Salah satu tantangan dari pemerintah daerah adalah ketergantungan yang sangat besar kepada keuangan pusat, sehingga transfer ke daerah itu merupakan bagian yang sangat dominan. Local revenue atau pendapatan daerah melalui pendapatan asli daerah masih sangat terbatas.”
Sederhananya, jika dirangkum dalam beberapa pertanyaan: “Mau bangun apa jika ternyata tidak punya anggaran? Bagaimana menjalankan janji-janji kampanye kalau nyatanya anggarannya sangat terbatas, itu pun harus bergantung dari belas kasihan transfer pemerintah pusat?” Jika diibaratkan pemerintah daerah seperti seorang anak kecil yang masih bergantung pada ibunya.
Dalam konteks ini, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seharusnya berperan sebagai motor penggerak ekonomi daerah sekaligus sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kalau kita bedah dari PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, maka pasal 4 yang berbunyi, “Daerah dapat mendirikan BUMD,” seharusnya dimaknai oleh pemerintah daerah bukan hanya sebatas kebolehan dan anjuran, namun keharusan yang mengikat namun dengan catatan dikelola secara profesional dan akuntabel.
Namun, kenyataannya apa? Banyak BUMD justru mengalami kerugian akibat tata kelola yang lemah, kurangnya inovasi, serta rendahnya akuntabilitas. Alih-alih menjadi aset strategis bagi daerah, BUMD yang tidak dikelola dengan baik justru menjadi beban bagi APBD, menghambat upaya daerah dalam mencapai kemandirian fiskal dan pembangunan berkelanjutan. Padahal, jika dikelola secara selain mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan pelayanan publik, serta memperkuat kemandirian ekonomi lokal, BUMD sejatinya merupakan manifestasi dari cita-cita Hatta.
Kelola Tanpa ‘Tata’
Dalam pengelolaan BUMD, peran kepala daerah sangat strategi sebagaimana yang diatur dalam pasal 331 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan perannya selaku pemegang kekuasaan umum pengelolaan kepala daerah. Artinya, tidak hanya bertanggung jawab dalam penyertaan pada BUMD, namun juga memastikan bahwa BUMD dikelola berdasarkan kompetensi dan tata kelola perusahaan yang baik.
Seiring berjalannya waktu, berdasarkan Data Statistik Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK tahun 2022, sebanyak 274 BUMD mengalami kerugian, 291 BUMD sakit (rugi dan ekuitas negatif), 17 BUMD kekayaan perusahaannya lebih kecil daripada kewajibannya (ekuitas negatif), 186 BUMD memiliki posisi dewan pengawas dan komisaris yang lebih banyak daripada direksi, dan 60 persen BUMD tidak memiliki Satuan Pengawas Internal.
Dari data statistik tersebut, maka dapat diambil kesimpulan sementara, bahwa selama ini BUMD dikelola tanpa ‘tata’, artinya ugal-ugalan tanpa regulasi yang jelas. Bayangkan, bagaimana buruknya tata kelola BUMD kita, “bahwa 60 persen BUMD tidak memiliki satuan pengawas internal.” Jadi, belum berbicara untung rugi suatu BUMD, secara kelembagaan saja sudah cenderung terindikasi tidak transparan, berpotensi korupsi dan merugikan daerah.
Permasalahan terbesar dalam tata kelola BUMD adalah besarnya beban gaji bagi direksi, komisaris, dan pejabat lainnya yang tidak sebanding dengan kinerja perusahaan. Seharusnya, gaji dan tunjangan yang diterima oleh jajaran direksi BUMD berbanding lurus dengan performa mereka dalam meningkatkan keuntungan bagi daerah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: BUMD yang merugi tetap menggaji pejabatnya dengan angka yang fantastis, bahkan lebih tinggi dibandingkan ASN di lingkungan pemerintah daerah.
Kondisi tersebut akhirnya sejalan dengan pernyataan dari buku seorang ahli politik dan ekonomi Amerika Serikat bernama Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul “State-Building: Governance and World Order in the 21st Century.” Fukuyama menekankan bahwa kebijakan yang hanya berfokus pada perluasan peran negara, tanpa meningkatkan kapasitasnya seringkali berujung menjadi celah korupsi dan inefisiensi.
Nada yang saya sama juga diungkapkan Bung Hatta dalam pidatonya puluhan tahun lalu, relevan kita renungkan kembali: “Kalau diperhatikan, bahwa onderneming besar-besar itu sudah merupakan masyarakat sendiri tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, maka tak pantas lagi buruk-baiknya diputuskan oleh beberapa orang partikelir saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata,” tutur Bung Hatta.
Jadi, BUMD kita saat ini sedang mengalami gejala pengawasan tanpa ‘awas’ serta kelola tanpa ‘tata’. Seperti yang dijelaskan Fukuyama, di satu sisi dilakukan secara ugal-ugalan penyertaan modal melalui APBD kepada BUMD. Di sisi lain sama sekali tidak meningkatkan kapasitasnya yang berujung pada korupsi dan tidak sehatnya BUMD.
BUMD dan Kerugian Menerus
Baru-baru ini, kita mendengarkan dari media massa fenomena korupsi yang bukan lagi di angka ratusan juta, namun miliaran, hingga triliun. Bahkan, parahnya lagi sampai mengakibatkan kerugian negara di angka kuadriliun. Adapun kasus korupsi yang menjadi sorotan publik adalah korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Pertamina Patra Niaga yang merugikan negara dengan perkiraan 1 Kuadriliun. Ada lagi, kasus dugaan korupsi iklan di BUMD PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten atau Bank BJB selama periode 2021-2023.
Lebih nyatanya lagi, terdapat 181 kasus korupsi sektor BUMN/BUMD yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Angka ini belum termasuk penindakan yang dilakukan baik oleh Kejaksaan Agung maupun Polri. Sangat miris bukan? Lantas, hanya ada tersisa pertanyaan kepada penyelenggara negara: “Mau sampai kapan BUMD dijadikan ladang korupsi oleh pejabat di daerah? Mau sampai kapan BUMD disuntik melalui APBD (uang rakyat), namun hasilnya merugi terus? kapan pemerintah pusat benar-benar serius membenahi ini? Bagaimana mungkin investor tertarik melirik jika korupsi dibiarkan begitu saja?”
Kepala Daerah Proaktif Lah!
Kepala daerah memiliki peran krusial dalam memastikan BUMD berjalan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme. Tanpa adanya komitmen dari kepala daerah untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh, sulit membayangkan BUMD bisa menjadi entitas bisnis yang sehat dan mandiri. Salah satu permasalahan utama yang sering terjadi adalah penunjukan direksi dan komisaris yang lebih didasarkan pada kedekatan politik ketimbang kompetensi.
Selain itu, Pemerintah Pusat melalui Kemendagri sebagai instansi pembina pemerintah daerah termasuk pengelolaan BUMD perlu mensinkronisasi dan harmonisasi produk hukum yang mengatur tentang pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Besarnya kewenangan kepala daerah juga perlu ditinjau ulang memitigasi terjadinya penyalahgunaan wewenang (conflict of interest). Artinya, sekalipun daerah secara mandiri mengelola BUMD, bukan berarti Kemendagri lepas tangan dan tidak melakukan pengawasan yang berkala dan berkualitas.