Ada banyak peraturan nasional (PMK) yang bertentangan dengan aturan diatasnya. Karena OCP ATIGA sudah diratifikasi oleh Peraturan Presiden, maka kedudukannya lebih tinggi daripada PMK.
Perdagangan antara negara sudah dimulai dari ribuan tahun yang lalu. Salah satu buktinya adalah terbentuknya Jalur Sutera yaitu jalur perdagangan yang menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Timur Tengah dan Eropa. Berkembangnya Revolusi Industri pada 1760-an semakin meningkatkan perdagangan internasional hingga akhirnya dibentuknya GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1947 yang menjadi dasar terbentuknya WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995 yang didirikan untuk mengatur perdagangan secara global.
Pada pertemuan GATT yaitu Tokyo Round of GATT Negotiations pada tahun 1979 telah memberikan kelonggaran bagi negara berkembang untuk membentuk FTA (Free Trade Agreement) atau perjanjian ekonomi regional dengan aturan yang lebih fleksibel dibanding Pasal XXIV GATT. Hal ini memicu terbentuknya ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) pada 2010 yang menggantikan perjanjian sebelumnya yaitu Common Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA).
Untuk memberikan kepastian hukum dalam kegiatan perdagangan ekspor impor barang antar negara ASEAN maka ASEAN menyepakati ASEAN Trade in Goods Agreement yang telah dilakukan amandemen di First Protocol to Amend the ASEAN Trade in Goods Agreement yang telah mendapatkan pengesahan melalui Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2020. Tentunya di dalam terjanjian ASEAN tersebut terdapat lampiran-lampiran yang lebih detail, salah satunya di Annex 8 berupa Operational Certification Procedure for the Rules of Origin Under Chapter 3 (OCP ATIGA). OCP ATIGA adalah prosedur teknis yang memastikan penerapan Rules of Origin (ROO) ATIGA dilakukan secara transparan, akurat, dan dapat diverifikasi. Dengan adanya OCP ATIGA, negara-negara ASEAN memiliki mekanisme yang jelas dalam mengelola preferensi tarif bea masuk di bawah skema perdagangan bebas ATIGA.
Dalam penerapan perjanjian FTA ASEAN ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) membuat aturan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan yaitu PMK-131/PMK.04/2020 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN yang telah diperbarui dengan PMK-81/PMK.04/2022.
Tarif Preferensial Bea Masuk
Yaitu tarif bea masuk yang lebih rendah atau bahkan 0% yang diberikan dalam perdagangan internasional berdasarkan perjanjian perdagangan antara dua atau lebih negara (free trade agreement). Tarif ini berbeda dari tarif bea masuk umum (MFN – Most Favored Nation) karena hanya berlaku bagi negara-negara yang tergabung dalam suatu perjanjian perdagangan. Barang-barang impor yang berhak mendapatkan tarif preferensial bea masuk adalah barang yang berasal dari negara-negara yang bertanda tangan dalam perjanjian tersebut. Jika dalam perjanjian ASEAN (ATIGA) maka barang impor hanya dibatasi yang berasal dari ASEAN atau yang memenuhi ketentuan tertentu misal: regional value content sebesar minimal 40%. Pihak issuing authority negara pengekpor akan melakukan verifikasi terhadap pihak eksportir yang mengajukan form SKA ATIGA (form D). Form D akan diterima oleh pihak importir yang selanjutnya form D tersebut akan diserahkan ke pihak Bea dan Cukai pada saat impor. Dengan kemajuan teknologi maka proses diatas sudah menggunakan Form D secara elektronik.
Ketentuan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan tarif preferensi ini yaitu ketentuan terkait asal barang (rules of origin), direct consignment, dan procedural criteria. Dalam tulisan ini hanya membahas salah satu ketentuan dalam procedural criteria yaitu minor discrepancies. Minor discrepancies merupakan kesalahan tulis dalam dokumen Form D atau dokumen impor (PIB).
Minor Discrepancies di PMK-131/PMK.04/2020 vs OCP ATIGA
Dalam OCP ATIGA di Rules 16 (1) diatur terkait minor discrepancies dimana typographical errors (kesalahan tulis) diperbolehkan terjadi baik di SKA Form D (Proof of Origin) maupun di dokumen yang diajukan kepada pihak kepabeanan yang berwenang di negara pengimpor (dalam hal ini adalah PIB, Pemberitahuan Impor Barang). Berikut Rules 16 OCP ATIGA:
“Where the ASEAN origin of the goods is not in doubt, the discovery of minor discrepancies, such as typographical errors, between the statements made in the Proof of Origin and those made in the documents submitted to the customs authority of the importing Member State for the purpose of carrying out the formalities for importing the goods shall not ipso facto invalidate the document if it is duly established that the document does in fact correspond to the goods submitted.”
Sayangnya di PMK-131/PMK.04/2020 jo. PMK-81/PMK.04/2022 terkait minor discrepancies yang diatur di Pasal 17 hanya mengatur kesalahan yang terjadi di dokumen SKA Form D saja tanpa ada aturan terkait kesalahan tulis di PIB. Padahal di OCP ATIGA di Rules 16 diatur kesalahan juga di dokumen impor (PIB).
Sengketa kesalahan tulis (minor discrepancies) di dokumen impor (PIB)
Pengisian data-data SKA Form D (nomor SKA, tanggal SKA, jenis barang, pihak eksportir) kadang kala terjadi kesalahan input data saat pengajuan PIB. Dan kesalahan ini dianggap tidak sesuai dengan peraturan yang ada karena Bea dan Cukai (DJBC) berpegang kepada PMK dimana kesalahan tulis di PIB tidak diatur di PMK, sehingga menyebabkan importasi tersebut tidak berhak mendapatkan tarif preferensi dan harus menggunakan tarif MFN yang lebih tinggi.
Tindak lanjut penolakan SKA Form D tersebut yaitu dengan penerbitan SPTNP (Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, bisa diajukan keberatan ke DJBC) atau SPKTNP (Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, bisa ajukan banding ke Pengadilan Pajak).
Kedudukan OCP ATIGA lebih tinggi daripada PMK
Ada banyak peraturan nasional (PMK) yang bertentangan dengan aturan diatasnya. Karena OCP ATIGA sudah diratifikasi oleh Peraturan Presiden, maka kedudukannya lebih tinggi daripada PMK. Hal ini juga disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana dalam bukunya Hukum Internasional-Dalam Prespektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang (2010) yang menyebutkan bahwa hukum nasional yang bertentangan dengan ketentuan di dalam perjanjian internasional maka hukum nasional yang bertentangan tersebut harus diamandemen. Ini juga sesuai dengan hierakhir peraturan perundang-undangan di Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Atau dalam hukum disebut asas lex superior derogat legi inferiori.