Sang pengirim kepala babi dan sekotak tikus kepada mingguan TEMPO dapat diproses pidana berdasarkan ketentuan UU Pers. Meski teror kepala babi dan kotak tikus kepada Tempo merupakan tindakan (atau ancaman) kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan menimbulkan rasa takut, tetapi sangat jauh dan sulit untuk dibuktikan unsur motif ideologi politiknya.
Angin “Orde Baru” terasa berhembus kembali ketika kita menyaksikan peristiwa teror terhadap mingguan Tempo berupa pengiriman “paket Kepala Babi” pada 20 Maret 2025 lalu. Dan dua hari kemudian (22/3/2025) disusul dengan pengiriman kotak berisi “bangkai tikus” yang dipenggal. Tindakan “kekerasan” ini menghadirkan ingatan akan penyebaran nuansa ketakutan pada kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan terhadap kebebasan berekspresi masyarakat.
Pembredelan atau pencabutan SIT (Surat Izin Terbit) media massa pada masa itu di satu sisi menjadi momok yang menakutkan, di sisi lain kehadiran suasana yang menakutkan itu menjadi sesuatu yang biasa, sehingga melahirkan “sikap prevensi” (kehati-hatian) yang tidak hanya menimpa dunia pers, tetapi juga menjalar semua sisi kehidupan kemasyarakatan. Bukan hal yang mengejutkan jika suasana prevensi ini menghinggapi kalangan akademisi, politisi bahkan masyarakat pada umumnya.
Salah satu puncaknya nampak dari jumlah partai politik jumlah peserta pemilihan umum Orde Baru (pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997) yang 10 partai “difusi-paksakan” hanya menjadi 3 partai saja. Bahkan ada kelompok masyarakat yang mendapat keistimewaan memperoleh kursi secara gratis di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa ikut pemilihan umum karena menjadi bagian dari “oligarki kekuasaan”. Bandingkan yang terjadi pemilu di zaman reformasi (Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, 2019 dan 2024) peserta pemilu diikuti oleh banyak (48, 24, 38, 12, 14 dan 17) partai politik, perbedaannya bagaikan bumi dan langit.
Teror adalah ancaman, tetapi ancaman belum tentu teror, harus dibedakan meskipun keduanya melahirkan sikap ketakutan dan sikap prevensi ketika melakukan tindakan. Yang pasti teror itu dilakukan oleh pihak yang tidak jantan, pengecut yang tidak menampakkan wujudnya. Sementara “ancaman” selain jelas siapa yang melakukan (dapat diidentifikasi) juga dilakukan secara terbuka. Sebut saja “ancaman pidana” oleh KUHP yang mengancam setiap pelaku kejahatan. Mereka yang melakukan tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, pencemaran nama baik, pengancaman atau tindak pidana lainnya dapat dipidana sekian tahun dan/atau membayar denda sejumlah tertentu atas kerugian yang diakibatkannya. Tidak hanya itu “hukuman tambahan” pun menanti dapat “mencabut hak-haknya”, dan membekukan korporasi jika kejahatan dilakukan dengan menggunakan perusahaan.
Persoalannya sejauh mana hukum mengakomodasi dan menjamin “kebebasan pers” di satu sisi dan menghukum pelaku teror di sisi yang lain. Tulisan ini bermaksud mencoba menguraikannya yang dimaksudkan sebagai bagian dari kehidupan kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan hukum.
Kebebasan Pers sebagai Kebebasan Berekspresi
Kebebasan pers di Indonesia dijamin dan dilindungi secara konstitusional. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin bahwa sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, kebebasan pers harus ditempatkan sebagai ekspresi dari hak asasi pers nasional yang bebas dari penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dalam kebebasan mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan & informasi, pers juga dibebani untuk mempertanggungjawabkan pemberitaannya di depan hukum.
Demikian juga jaminan perlindungan dilakukan melalui ancaman pidana bagi pihak-pihak tertentu yang secara melawan hukum melakukan tindakan-tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kebebasan pers, dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah). Artinya paling tidak Sang pengirim kepala babi dan sekotak tikus kepada mingguan Tempo dapat diproses pidana berdasarkan ketentuan UU Pers.
Pemberitaan yang Merugikan
Dapat dipastikan tindakan teror yang dilakukan terhadap media massa termasuk Tempo umumnya didasarkan pada keberatan terhadap pemberitaan yang dilakukan. Karena itu, beberapa regulasi, seperti KUHP, UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), Peraturan Dewan Pers dan Kode etik Jurnalistik secara rinci dan lengkap telah mengaturnya. Pengaturan itu antara lain mengatur soal (1). Mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang di satu sisi memberikan hak pada “korban pemberitaan” mengajukan keberatan dan koreksi.
Di sisi lain mewajibkan pers melayani hak jawab dan hak koreksi tersebut, (2). Pengaduan ke Dewan Pers, jika tidak dicapai kesepakatan, maka Dewan Pers akan mengeluarkan pernyataan penilaian dan rekomendasi yang disampaikan kepada pengadu dan teradu. (3) Penyelesaian jalur hukum, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata ataupun proses laporan secara pidana dengan pelaporan pencemaran nama baik melalui KUHP maupun UU ITE dengan ancaman penjara yang lebih berat.
Tepatkah Pendekatan UU Terorisme
Teror kepala babi dan sekotak tikus yang dilakukan terhadap Tempo memang telah melahirkan ketakutan, paling tidak pada komunitas Majalah Tempo di Jalan Palmerah Jakarta Barat. Tetapi, jika melihat pengertian teror dalam UU Terorisme tepatkah diterapkan pada peristiwa ini?
Pengertian Terorisme berdasarkan Pasal 1 angka 2 Perppu 1/2002 jo UU 5/2018 adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Dengan pengertian seperti ini maka delik Terorisme dipersempit hanya sebagai delik politik, yang justru berpotensi mempersulit penuntutannya, disamping juga membuat pemberantasan terorisme menjadi sewenang-wenang. Hal tersebut disebabkan secara pidana tindakan teror itu tidak selalu berhubungan dengan motif politik, ideologi, dan agama. Terorisme tujuan akhirnya adalah menimbulkan rasa tidak aman.
Menjadi sulit penuntutannya karena selain harus membuktikan unsur-unsur delik yang menyangkut ideologi politik. Disisi lain ada kesepakatan rezim hukum pidana internasional bahwa terhadap pelaku delik politik tidak dapat dilakukan ekstradisi. Karena itu akan mempersulit penegakan hukum pidana terorisme jika sudah lintas batas negara. Pengertian terorisme memang belum menemukan keseragaman dalam literatur internasional. Namun setidaknya ada empat unsur yang selalu ada dalam berbagai definisi terorisme yaitu menggunakan kekerasan, menimbulkan sejumlah korban, tujuan utamanya menciptakan rasa takut, dan dilakukan dengan kesengajaan.
Meski teror kepala babi dan kotak tikus kepada Tempo merupakan tindakan (atau ancaman) kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan menimbulkan rasa takut, tetapi sangat jauh dan sulit untuk dibuktikan unsur motif ideologi politiknya. Karena itu, kasus teror Tempo ini sangat tidak kecil kemungkinannya diselesaikan dengan pendekatan UU Terorisme. Terkecuali dengan kecanggihan penegak hukum kepolisian atau kejaksaan dapat menggali secara dalam dan komprehensif (in-depth investigations) peristiwa teror Tempo ini untuk dibuktikan sebagai peristiwa politik yang (mungkin) mencemarkan nama baik atau mengganggu jalannya pemerintahan yang baru berjalan beberapa bulan ini. Siapa tahu…..& Siapa takut …….!!!!
*) Abdul Fickar Hadjar, Pengamat Hukum, Dosen FH Universitas Trisakti 2008-2023