22 Tahun UU Advokat: Sejarah, Polemik, dan Masa Depan Profesi Advokat di Indonesia

Di usia ke-22, UU Advokat sedang berdiri di persimpangan sejarah. Ia telah memberi dasar penting bagi independensi profesi hukum di Indonesia. Akan tetapi, ia belum cukup kuat menciptakan sistem yang profesional, terintegrasi, dan berkeadilan dalam praktik. Maka, momen bersandingnya pembahasan revisi KUHAP dengan refleksi dua dekade UU Advokat adalah peluang emas yang tak boleh dilewatkan.

Profesi advokat merupakan elemen vital dalam sistem hukum modern yang berperan sebagai penegak hukum bersama dengan polisi, jaksa, dan hakim. Peran advokat tidak hanya sebagai pembela dalam perkara pidana, tetapi juga sebagai konsultan hukum, negosiator, mediator, dan penegak keadilan dalam arti luas. Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut asas due process of law, keberadaan advokat menjadi penyeimbang penting untuk menjamin keadilan substantif dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Sebelum reformasi tahun 1998, pengaturan profesi advokat di Indonesia bersifat parsial dan belum terintegrasi. Profesi hukum ini terbagi dalam beberapa kategori seperti “pengacara praktik”, “penasihat hukum”, dan “advokat”, yang masing-masing memiliki otoritas pengesahan dan standar etik yang berbeda. Hal ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum yang merugikan pencari keadilan. Situasi tersebut berubah ketika Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada tanggal 5 April 2003 disahkan.

UU Advokat ini menjadi tonggak penting dalam menyatukan profesi hukum di bawah satu naungan regulasi yakni advokat yang merdeka, bebas, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tepat 22 tahun Undang-Undang Advokat (5 April 2003-5 April 2025) ini eksis, perlu dikaji bagaimana sejarah dan dinamika keberlakuannya, serta melihat juga bagaimana masa depan profesi advokat sebagai salah satu penegak hukum berjalan.

Sejarah Perkembangan Advokat di Indonesia

Perkembangan posisi advokat dalam sistem hukum Indonesia tidaklah singkat. Berbeda dengan saat ini, advokat sebelum adanya UU No. 18 Tahun 2003 diposisikan hanya sebagai pelengkap proses penegakan hukum yang tidak bebas dan mandiri serta sulit diakses. Terbukti dengan sejarahnya sejak masa penjajahan Belanda profesi advokat hanya berlaku dan hanya diakses oleh golongan Eropa, Indo-Eropa, atau elite bumiputra terdidik. Keberadaan advokat tidak untuk melindungi kepentingan hukum rakyat secara umum, tetapi untuk melayani kalangan bisnis, elite kolonial, dan kepentingan pemerintah Belanda. Kata lain, profesi hukum ini bersifat elitis dan jarang menyentuh kepentingan rakyat pribumi.

Pada masa Belanda, profesi advokat disebut advocaat, dan diatur dalam Reglement of de Rechterlijke en het Beleid der Justitie in Indonesie, yang disingkat RO, Stb. 1842 Nomor 2 jo. St 1848 dan Reglement op de Rechtsvordering (Rv) yang merujuk pada sistem hukum sipil kontinental. Para advokat terdaftar dan diangkat oleh pengadilan tinggi kolonial, kemudian digabungkan dalam wadah Balie van Advocaten. Namun, keanggotaannya didominasi oleh advokat  Belanda, sementara  pribumi memiliki akses terbatas.

Pada masa penjajahan Jepang, pemerintahan militer Jepang menjalankan sistem hukum militer, dan hanya sedikit tokoh Indonesia yang berperan sebagai penasihat hukum. Advokasi pada masa ini lebih bersifat informal, dilakukan oleh tokoh-tokoh nasionalis di luar sistem formal. Jepang tidak membentuk organisasi advokat yang bersifat otonom, dan hak atas bantuan hukum atau pembelaan hukum sangat terbatas karena dominasi sistem peradilan militer.

Pasca kemerdekaan, muncul dorongan kuat untuk membentuk wadah nasional bagi profesi advokat. Inisiatif ini terwujud pada 14 Maret 1963 silam melalui penyelenggaraan Seminar Hukum Nasional Advokat Indonesia yang menghasilkan pembentukan Persatuan Advokat Indonesia (PAI). Selanjutnya, dalam Kongres Advokat yang digelar di Solo pada 30 Agustus 1964, PAI bertransformasi menjadi organisasi baru bernama Persatuan Advokat Indonesia (Peradin).

Selanjutnya, pada masa Orde Baru, profesi advokat tidak berkembang secara merdeka, karena negara melakukan kontrol yang sangat kuat terhadap lembaga hukum. Pemerintah memposisikan advokat sebagai pelengkap semata dalam sistem peradilan. Sementara itu, pengangkatan advokat dilakukan melalui Menteri Kehakiman, bukan oleh organisasi profesi secara mandiri. Advokat dibatasi dalam aktivitasnya, terutama jika menangani kasus-kasus yang bersentuhan dengan politik atau HAM. Kriminalisasi advokat terjadi dalam beberapa kasus, termasuk aktivis hukum yang membela kelompok oposisi. Oleh karenanya, berdirilah Lembaga Bantuan Hukum (LBH), tokoh advokat seperti Adnan Buyung Nasution menjadi ikon pembela rakyat miskin dan korban ketidakadilan.

Reformasi 1998 membuka jalan lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. UU ini menyudahi campur tangan eksekutif dalam pengangkatan advokat dan menjadikan advokat sebagai profesi hukum yang bebas dan mandiri. UU Advokat juga memberikan ketegasan terhadap beberapa poin penting. Misalnya, pada Pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa Advokat adalah penegak hukum yang sejajar dengan jaksa, polisi, dan hakim. Pengangkatan advokat dilakukan melalui organisasi profesi, bukan lagi oleh negara. Selain itu, ditetapkan juga kode etik profesi advokat, kejelasan imunitas hukum, dan tanggung jawab sosial advokat dalam melaksanakan bantuan hukum.

Polemik dalam Norma UU Advokat

Dinamika berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sejak diundangkan hingga tahun 2025 telah mengalami pengujian konstitusional sebanyak 30 kali di Mahkamah Konstitusi (MK), dengan 8 diantaranya dikabulkan. Banyaknya pengujian terhadap UU Advokat demikian mencerminkan kompleksitas, ketegangan norma, dan kebutuhan akan pembaruan hukum dalam UU advokat ini untuk menjawab tantangan penegakan hukum kontemporer.

Ada beberapa polemik yang muncul dalam penerapan norma UU Advokat, utamanya setelah beragam putusan MK menimbulkan norma baru dalam UU Advokat. Penulis menyoroti polemik soal siapa yang berwenang mengajukan nama advokat untuk disumpah. Putusan MK menghapus keterkaitan pengajuan sumpah dengan satu organisasi advokat tertentu, membuka jalan bagi multipolaritas organisasi. Namun hal ini justru memperpanjang konflik mengenai otoritas organisasi advokat.

Penulis menggunakan pendekatan teori kepentingan hukum untuk menyimpulkan bahwa yang berhak mengajukan penyumpahan adalah organisasi yang menyelenggarakan pendidikan, pengujian, dan pengangkatan advokat, sehingga secara fungsional hanya organisasi dengan struktur lengkap yang berhak melakukannya. Dengan kata lain, PERADI sebagai organisasi terlengkap secara historis dan struktural, dianggap masih memiliki legitimasi kuat.

Polemik mengenai aturan pengajuan sumpah advokat ini bukanlah satu unsur polemik semata, melainkan berkesinambungan dengan polemik lainnya seperti isu pendidikan profesi advokat dan hak imunitas advokat. Isu-isu ini erat kaitannya dengan kualitas advokat sebagai penegak hukum. Sebagai penegak hukum, advokat selayaknya menjadi kontrol terhadap penegak hukum lainnya atas kesewenang-wenangan yang berpotensi terjadi.

Kualitas advokat yang tidak terjaga berimplikasi pada penegakan hukum yang tidak maksimal dan menimbulkan potensi street of justice. Ditambah lagi problematika lain seperti pembatalan norma Pasal 31 UU Advokat yang melemahkan perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman profesi advokat gadungan. Tanpa ancaman pidana khusus, maka pelaku advokat gadungan hanya bisa dijerat dengan pasal penipuan biasa dalam KUHP, yang daya jera dan kekhususannya lebih lemah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya eksploitasi hukum oleh individu tak berkompeten yang mengaku advokat.

Jika menggunakan pendekatan perbandingan hukum, advokat di Indonesia peran dan posisinya masihlah tidak kuat dan jauh dari julukan yang disematkan yakni sebagai officium nobile. Berbeda halnya dengan di Belanda, profesi advokat (advocaat) diatur ketat oleh Nederlandse Orde van Advocaten (NOvA). Calon advokat wajib mengikuti Beroepsopleiding Advocaten (BA) selama 3 tahun, diawasi oleh senior (patroon), dan tunduk pada kode etik yang diatur oleh organisasi tunggal. Setiap pelanggaran etik dapat langsung disidangkan di pengadilan disiplin. Kondisi ini kontras dengan Indonesia yang masih menghadapi persaingan antar organisasi dan tidak adanya standardisasi nasional pendidikan profesi advokat.

Masa Depan Profesi Advokat

Tahun 2025 menandai dua dekade lebih Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat hadir dalam sistem hukum Indonesia. Namun, peringatan usia ke-22 ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Kali ini, UU Advokat menghadapi momen strategis yang tak terulang yakni berbarengan dengan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Momentum inilah yang semestinya digunakan sebagai jalan masuk untuk melakukan penguatan peran advokat sebagai bagian integral dalam sistem peradilan pidana (terpadu) yang adil, setara, dan menjamin hak asasi manusia.

Selama ini, meskipun Pasal 5 UU Advokat menegaskan posisi advokat sebagai “penegak hukum yang bebas dan mandiri”, dalam praktiknya peran ini kerap dianggap subordinat. Di hadapan jaksa dan penyidik, advokat masih sering diperlakukan sebagai “tamu”, bukan sebagai aktor utama yang ikut memastikan proses hukum berjalan dalam koridor keadilan. Karena itu, pembaruan hukum acara pidana melalui RKUHAP harus menjadi ruang untuk mereposisi advokat sebagai checks and balances terhadap kewenangan penegak hukum lain seperti penyidik dan penuntut umum terutama dalam konteks perlindungan hak tersangka dan korban secara berimbang.

Namun memperkuat posisi advokat tidak bisa dilakukan secara parsial. Salah satu isu sentral yang harus disentuh dalam pembaruan UU Advokat adalah kejelasan dan konsolidasi kelembagaan organisasi profesi. Selama lebih dari dua dekade, advokat di Indonesia hidup dalam bayang-bayang dualisme, bahkan pluralisme organisasi, yang bukan hanya menyulitkan pengawasan dan penegakan kode etik, tetapi juga merusak kewibawaan profesi secara sistemik. Idealnya, harus ada kembali pemikiran serius tentang pentingnya organisasi tunggal advokat yang diberi mandat undang-undang—bukan sekadar de facto—untuk mengatur, mengawasi, dan menegakkan standar profesi secara nasional.

Selain organisasi yang terpadu, pembaruan dalam aspek pendidikan profesi advokat juga sangat krusial. Dunia hukum saat ini tidak lagi cukup diisi oleh mereka yang hanya menguasai teori, tetapi menuntut advokat yang memiliki kapabilitas etik, teknikal, dan sosial dalam menghadapi kompleksitas masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pendidikan profesi advokat harus ditingkatkan, dari semata pelatihan singkat menjadi pendidikan formal berbasis standar nasional. Sejalan dengan Permenristekdikti No. 5 Tahun 2019 tentang Pendidikan Profesi Advokat, sistem pendidikan dua semester dengan 24 SKS perlu dijadikan standar wajib nasional, di bawah pengawasan organisasi advokat yang diakui negara. Tujuannya jelas: mencetak advokat yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bertanggung jawab.

Tak kalah penting, penguatan hak imunitas advokat juga menjadi bagian yang tidak bisa ditawar dalam reformasi hukum advokat ke depan. Banyak kasus menunjukkan bagaimana advokat dikriminalisasi hanya karena menjalankan tugasnya dalam membela klien—baik karena menyuarakan kebenaran ataupun mengungkap barang bukti maupun saksi dan ahli yang menguntungkan terdakwa. Padahal dalam sistem hukum modern, advokat yang bekerja dengan iktikad baik harus dilindungi oleh prinsip imunitas, sebagaimana dinikmati pula oleh jaksa dalam persidangan. Persamaan kedudukan advokat dan penegak hukum lain bukan sekadar retorika, tetapi harus diwujudkan secara normatif dan fungsional (praktis). Pembelaan terhadap klien adalah bagian dari pencarian keadilan substantif, dan tidak boleh dikekang oleh batasan akses, intimidasi, atau prosedur yang tidak setara.

Jika RKUHAP ke depan memang menjanjikan sistem hukum acara yang lebih berkeadilan dan akuntabel, maka ia harus memastikan bahwa advokat diberikan hak akses yang setara dengan jaksa dan penyidik, baik terhadap dokumen perkara, alat bukti, hingga komunikasi dengan klien tanpa gangguan/halangan. Dalam praktik, ketimpangan ini justru menjadi hambatan utama dalam membangun keadilan substantif.

Di usia ke-22, UU Advokat sedang berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ia telah memberikan dasar penting bagi independensi profesi hukum di Indonesia. Di sisi lain, ia belum cukup kuat dalam menciptakan sistem yang profesional, terintegrasi, dan berkeadilan dalam praktik. Maka, momen bersandingnya pembahasan revisi KUHAP dengan refleksi dua dekade UU Advokat adalah peluang emas yang tak boleh dilewatkan.

Jika kita ingin hukum benar-benar menjadi alat perlindungan warga negara, maka profesi advokat harus diberdayakan, dilindungi, dan dijaga martabatnya. Dan itu hanya mungkin jika kita berani mengubah — bukan hanya sekadar memperingati — Undang-Undang Advokat saja.

*) Dr. Shalih Mangara Sitompul, S.H., M.H., Wakil Ketua Umum DPN PERADI Bidang PKPA, Sertifikasi & Kerja Sama Universitas Periode 2020-2025

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *