Perekonomian global semakin tak menentu setelah Amerika Serikat (AS) menerbitkan pengenaan tarif tinggi secara global. Sekalipun otoritas AS mengumumkan penundaan pelaksanaan tarif itu untuk puluhan negara dalam beberapa bulan ke depan, tapi tetap menimbulkan ketidakpastian ekonomi.
Kalangan serikat buruh telah mengingatkan pemerintah untuk segera mengantisipasi dampak kebijakan tarif tersebut. Serikat buruh khawatir kebijakan Presiden AS Donald Trump itu akan menciptakan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan kondisi perekonomian yang tidak baik bisa berdampak terhadap munculnya PHK. Tercatat dalam 2 bulan terakhir PHK di sektor padat karya terus bertambah, otomatis meningkatkan pengangguran terbuka (TPT).
Timboel mencatat sedikitnya ada 5 penyebab PHK. Pertama, regulasi atau kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Misalnya, membuka keran impor tanpa mempertimbangkan perlindungan terhadap produk lokal. Akibatnya, barang impor mengalahkan produk dalam negeri seperti tekstil, alas kaki, furniture dan lain sebagainya.
“Sehingga pekerja/buruh di sektor-sektor tersebut terpaksa mengalami PHK. Pemerintah seharusnya meninjau ulang Permendag No. 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Permendag No. 36 Tahun 2023 Tentang Kebijakan Dan Pengaturan Impor dengan membatasi arus impor masuk ke dalam negeri sehingga produk dalam negeri bisa laku di pasar domestik,” katanya dikonfirmasi, Jumat (11/4/2025).
Kebijakan pemerintah yang mendukung dan memfasilitasi produk impor barang dari AS agar bisa masuk lebih banyak -sebagai respon dari kebijakan tarif impor AS- bakal menggempur produk lokal. Sehingga menyebabkan produk lokal kalah bersaing dan berpotensi kembali melahirkan PHK.
Kedua, kebijakan negara lain seperti kenaikan tarif impor AS, memperlemah daya saing produk ekspor Indonesia. Sehingga permintaan pasar terhadap barang produksi Indonesia semakin turun, sehingga perusahaan yang memproduksi berpotensi melakukan PHK.
Ketiga, PHK berpotensi terjadi karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang tidak patuh aturan. Tak sedikit perusahaan yang mengabaikan norma ketenagakerjaan seperti upah minimum, jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dan lainnya.
Persoalan ini memicu protes dari kalangan pekerja/buruh. Alih-alih melakukan perbaikan dengan menjalankan hukum ketenagakerjaan, tapi ada perusahaan yang malah melakukan PHK terhadap pekerja/buruh tersebut.
Keempat, adanya berbagai oknum yang memeras perusahaan sehingga membuat ongkos operasional perusahaan membengkak. Pungutan liar atau biaya ilegal yang dikeluarkan perusahaan untuk para oknum itu membuat beban produksi semakin berat. Ditambah tingginya suku bunga bank yang ujungnya membuat harga barang produksi menjadi tinggi. Sehingga barang produksi itu kalah bersaing, membuat perusahaan mempertimbangkan PHK untuk mengurangi beban tersebut.
Kelima, penggunaan teknologi untuk produksi. Timboel mencatat penggunaan teknologi berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja. Penerapan teknologi itu tujuannya antara lain untuk meningkatkan daya saing produk, khususnya kualitas dan harga dengan harapan bisa bersaing dengan produk luar negeri.
Rencana bentuk Satgas
Rencana pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK menurut Timboel tergolong baik untuk mencari solusi preventif, menghindari terjadinya PHK. Satgas PHK diharapkan dapat mengantisipasi kelima faktor penyebab PHK itu. Tapi dengan kinerja pemerintahan saat ini, Timboel meragukan keberhasilan kerja Satgas tersebut. Tanpa Satgas seharusnya pemerintah bisa segera melakukan upaya mencegah faktor-faktor yang menyebabkan PHK.
Langkah penting yang perlu dilakukan pemerintah adalah menyelamatkan dan melindungi industri dalam negeri. Misalnya, mengkaji ulang beberapa regulasi salah satunya Permendag 8/2024, menurunkan suku bunga bank, memberikan insentif pajak dan lain sebagainya. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang tidak menjalankan norma-norma ketenagakerjaan serta menghapus pungli dan biaya ilegal.
Selain melakukan langkah preventif, Timboel mengusulkan Satgas PHK membantu pekerja/buruh yang mengalami PHK untuk mendapat hak-haknya. Seperti kompensasi PHK, manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan lainnya. Proses pembentukan Satgas PHK harus melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri, mengatakan masih mengkaji usulan pembentukan Satgas khusus yang mengurusi PHK.
Usulan ini disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam sarasehan ekonomi di Jakarta, Selasa (8/4) lalu dengan tujuan mengantisipasi ancaman PHK terhadap buruh imbas tarif resiprokal yang dikeluarkan AS. Indah mengatakan pembentukan Satgas akan dilakukan melalui Instruksi Presiden (Inpres). Kerja-kerja Satgas nantinya tak sekedar mengurusi soal PHK tapi juga perluasan kerja.
“Kita harus lihat dari angle yang lebih positif. Nanti mungkin tidak ‘saklek’ Satgas PHK, tapi satgas pencegahan (PHK) atau satgas perluasan kerja. Nanti kita lihat. Itu (pembentukan Satgas PHK) ide yang bagus,” ujar Indah sebagaimana dikutip dari laman Antara, Kamis (10/04/2025) kemarin.