Dari “Yang Mulia” ke “Yang Malu”

Mereka yang biasa mengadili, jadi diadili. Mereka yang dipanggil Yang Mulia, kini terhina. Mereka yang terbiasa mengetuk palu, kini harus pasrah menunggu ketukan palu atas dirinya.

Sambil dikawal petugas, seorang lelaki keluar dari gedung Kejaksaan Agung yang dijejali para wartawan pada Senin (14/4/25) dini hari. Puluhan kamera dan ponsel mencoba membidik wajah pria dengan kedua tangan terborgol itu. Namun, tetap saja gawai tercanggih pun akan sulit menangkap jelas wajahnya. Mau bagaimana, ia berjalan menunduk sambil mengenakan masker.

Dua pria lain yang mengikuti di belakangnya juga melakukan hal yang sama. Malah lebih menyulitkan kerja wartawan karena keduanya membelah kerumunan dengan memakai masker, merunduk, ditambah bertopi.

Terungkap ketiganya adalah hakim Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto. Merekalah hakim yang diduga menerima suap sebagai jasa atas vonis lepas pada terdakwa korporasi kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO)—bahan baku minyak goreng.

Anda bosan baca berita biasa?
Kami persembahkan untuk Anda produk jurnalisme hukum terbaik. Kami memberi Anda artikel premium yang komprehensif dari sisi praktis maupun akademis, dan diriset secara mendalam.

Ketiganya telah hadir dengan “seragam” baru, dari jubah hitam panjang dengan lis merah dan kerah putih ke rompi oranye. Yang Mulia hakim itu juga akan segera menempati kursi pesakitan, kendati sebelumnya selalu duduk di kursi yang paling tinggi di pengadilan.

Seperti yang sudah-sudah, bisa dipastikan mereka akan lebih sering bermasker. Ya, di sini, para tersangka, terduga, sampai terdakwa korupsi lazim sekali tiba-tiba bermasker saat muncul di publik. Padahal, tidak semuanya dalam kondisi sakit.

Semestinya, perangkat penegak hukum berhenti menoleransi keanehan yang sudah menahun ini. Kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai pengadilan harus kompak untuk melarang para koruptor bermasker.

Alasannya simpel saja—para maling uang rakyat itu pun harusnya tahu—masker sebenarnya tak bakalan mampu menyelamatkan citra mereka yang sudah tercoreng.

Koruptor bermasker justru makin membuktikan betapa rentan dan rapuhnya mereka, ditinjau dari konsep grotesque realism-nya Mikhail Bakhtin (1895–1975).

Menurut filsuf dan kritikus sastra asal Rusia itu, realisme grotesque adalah kombinasi dari hal-hal yang saling bertentangan, seperti luhur-hina atau logis-magis. Cara pandang ini tidak asing bagi kita, bangsa yang—seperti Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia tuliskan—kerap mampu mentertawakan absurditas dan paradoks dalam hidup. Singkatnya, humoris.

Realisme grotesque mengungkap dua konsep soal tubuh. Pertama, tubuh grotesque, yakni tubuh yang “hidup” dan membumi karena mengalami proses degradasi. Tubuh ini kadang terisi penuh makanan, bisa juga memuntahkannya; kadang terguncang saat tertawa, tetapi pernah pula tercabik akibat disiksa.

Kedua, ada tubuh klasik. Khas milik raja dan kaum elite. Tubuh ini bersih, utuh, rapi, sakral khas “langit”, dan jauh dari bentuk kerendahan karena tidak mengalami degradasi secara natural.

Tubuh klasik para elite baru terdegradasi saat perilaku koruptifnya terungkap. Di momen itu tiba, dada mereka berhenti membusung. Matanya seringkali memancarkan ketakutan. Ke mana-mana, mereka lantas menutupi wajahnya dengan masker karena rautnya menyiratkan malu.

Gara-gara dipakai koruptor inilah makna masker jadi ikut terdegradasi, dari alat kesehatan jadi bentuk kepanikan. Lembaran kain tipis itu dijadikan perisai bagi para pengkhianat rakyat untuk menutup-nutupi identitasnya.

Di momen-momen seperti ini, rakyat tidak boleh iba. Justru kita harus sadar bahwa inilah saatnya untuk mentertawakan pemilik tubuh-tubuh grotesque pemula itu.

Malah, tawa publik harusnya makin kencang atas kasus yang melibatkan tiga hakim ini. Sebab, jebloknya amat drastis. Mereka yang biasa mengadili, jadi diadili. Mereka yang dipanggil Yang Mulia, kini terhina. Mereka yang terbiasa mengetuk palu, kini harus pasrah menunggu ketukan palu atas dirinya.

Apalagi, mereka menangani kasus tindak pidana korupsi, mengadili koruptor, tetapi justru mereka sendiri yang melakukan korupsi dan menjadi aktor. Logika sederhananya, hukuman untuk mereka lebih berat nantinya.

Publik memang tidak punya kekuatan hukum formal, yang bisa menjatuhkan hukuman dan memenjarakan. Akan tetapi, dengan kekuatan tawa, harkat yang menempel di tubuh koruptor itu bisa kita pereteli dan luluh-lantakkan.

Seperti ditulis dalam Judges, Judging and Humour (2018, h.45), negara yang sistem peradilannya terkenal korup cenderung punya lebih banyak humor tentang culas dan curangnya para pengadil. Maka, sudah selayaknya, kita punya lebih banyak lagi humor-humor yang warnanya seperti berikut ini:

Di suatu sidang kasus korupsi, jaksa bertanya ke saksi: “Benar Anda terima Rp22,5 miliar untuk mengatur hasil perkara ini?”

Karena tak ada jawaban dari saksi, jaksa pun mengulangi pertanyaannya: “Anda terima Rp22,5 M di perkara ini gak?”

Namun, saksi masih diam membisu. Hakim pun akhirnya angkat bicara: “Saudara saksi, tolong itu dijawab pertanyaannya!”

Saksi dengan cerdiknya lantas bilang: “Oh, maaf, saya kira, Yang Mulia hakim yang lagi ditanya.”

Ulwan Fakhri – Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) & pionir Certified Humor Professional AATH di Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *