Polemik Siswa Bermasalah Dikirim ke Barak, Menteri HAM: Tidak Melanggar HAM!

Selama kegiatan tersebut lebih menekankan pada pembinaan karakter dan bukan pada kekerasan.

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menilai bahwa program pendidikan semi militer yang diterapkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat bagi siswa bermasalah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Menurutnya, pendekatan yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tidak tergolong sebagai corporal punishment atau hukuman fisik, melainkan lebih kepada upaya pembentukan karakter dan tanggung jawab peserta didik.

“Apa yang dilakukan Pemprov Jawa Barat tersebut bukan merupakan hukuman fisik. Itu bagian dari pembentukan karakter, mental, dan tanggung jawab anak. Maka, tentu tidak menyalahi standar HAM,” ujar Pigai dilansir dari keterangan resmi, Rabu (7/5).

Pigai menjelaskan, corporal punishment adalah bentuk hukuman yang melibatkan kekerasan fisik dan menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan pada anak sebagai bentuk disiplin. Jenis hukuman seperti ini tidak baik bagi perkembangan anak karena dapat berdampak buruk pada kondisi fisik maupun mental mereka.

Ia menambahkan bahwa corporal punishment bentuknya bisa beragam, mulai dari memukul, menampar, hingga menggunakan benda keras untuk melukai anak. Praktik-praktik tersebut dinilai kontroversial karena efek negatifnya yang jangka panjang.

“Jenis hukuman itu tidak baik untuk anak,” katanya.

Namun, dalam konteks program pendidikan di barak militer yang dijalankan Pemprov Jawa Barat, Pigai menegaskan bahwa selama kegiatan tersebut lebih menekankan pada pembinaan karakter dan bukan pada kekerasan, maka hal itu tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM.

Selama program itu fokus pada pembinaan mental, karakter, dan nilai-nilai yang membentuk pribadi anak, kata dia, maka program tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip HAM.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menggulirkan rencana untuk “menyekolahkan” siswa bermasalah di provinsi tersebut agar dididik di barak militer mulai 2 Mei 2025. Program ini ditujukan untuk siswa yang telah menunjukkan perilaku menyimpang dan berasal dari keluarga yang tidak mampu memberikan bimbingan pendidikan.

Saat meninjau pelaksanaan program tersebut di Purwakarta, Sabtu (3/5), Dedi menyebut pembinaan karakter terhadap pelajar di Markas TNI Resimen Armed 1/Sthira Yudha/1 Kostrad Kabupaten Purwakarta berdampak positif pada peningkatan kedisiplinan pelajar.

“Program ini (pembinaan karakter pelajar di markas TNI) memberikan dampak positif pada peningkatan kedisiplinan pelajar,” ucap Dedi.

Ia menambahkan bahwa kriteria anak dalam pendidikan semi militer tersebut dimulai dari jenjang pendidikan SMP. Dedi menjelaskan bahwa kriteria yang dimaksud adalah anak-anak yang sudah mengarah tindakan kriminal dan orang tuanya tidak punya kesanggupan untuk mendidik.

“Jadi, kalau orang tuanya tidak menyerahkan kami tidak akan menerima,” katanya.

Dedi juga mengatakan program kedisiplinan ini telah diikuti oleh pelajar dari berbagai kabupaten dan kota di Jawa Barat, sebagai bagian dari upaya menekan angka kenakalan remaja. Ke depan, program akan diperluas hingga ke jenjang SLTA, termasuk kalangan remaja yang telah teridentifikasi melakukan pelanggaran kedisiplinan.

Melalui program itu, menurut Dedi, pelajar akan mendapatkan sejumlah materi tambahan dari berbagai unsur sebagai bagian dari pembinaan menyeluruh dalam membentuk karakter yang kuat dan positif.

Sementara itu, Dosen Departemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Airlangga, memberikan pandangan berbeda. Ia menyarankan agar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) melakukan redesain kurikulum, terutama kurikulum yang membuat anak didik terspesialisasi pada bidangnya.

Ia juga menyatakan kurang setuju dengan istilah “anak nakal”. Yayan berpendapat bahwa anak yang kurang betah di bidang akademik sebaiknya lebih mendalami kegiatan praktis yang menggali potensinya secara optimal. Diharapkan mereka lebih bersuka cita dan menikmati proses belajar.

Menurutnya, diharapkan lulusan lebih menguasai bidangnya secara mendalam daripada mengetahui banyak hal secara dangkal. Dengan demikian, mereka tidak hanya menguasai ilmu secara umum, tetapi memiliki keahlian khusus yang dapat menunjang karier dan kontribusi mereka di masa depan.

“Setiap anak tidak bisa diharapkan pintar di segala bidang. Ada yang unggul di bidang akademis, penelitian, atau pendidikan formal. Ada pula yang ahli di bidang keterampilan atau praktis sesuai bakat dan kemampuannya,” ujarnya.

Yayan menekankan bahwa sekolah tidak lagi bisa memaksakan anak didiknya untuk unggul di semua bidang. Adapun pendidikan ala militer boleh diterapkan, tapi tetap perlu didampingi dengan materi pembelajaran yang mengasah kemampuan motorik dan intelektual siswa.

“Pada aspek kedisiplinan, pihak militer memang bisa diacungi jempol, tapi harus dilengkapi dengan pengetahuan dan kemampuan kompetitif. Anak didik tidak boleh menganggap kegiatan ala militer sebagai pelarian dari aktivitas sekolah. Pelajaran sekolah harus tetap mereka dapatkan selama pendidikan di barak militer,” kata Yayan.

Lebih jauh, ia menyarankan agar program ini dianggap sebagai sesi pendidikan di alam terbuka yang penuh keceriaan, sambil tetap mendapatkan materi pelajaran sekolah yang esensial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *