Perlu memperkuat rantai pasok dalam negeri agar tidak tergantung pada komponen dan bahan baku dari negara yang terlibat dalam perang dagang.
Tarik ulur kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang dikeluarkan Presiden Donald Trump menjadi perhatian negara-negara dunia. Pasalnya, kebijakan kenaikan tarif berlaku pada negara-negara dunia hingga mempengaruhi perdagangan global.
Bagi Indonesia, kebijakan tarif ini berisiko terhadap kinerja ekspor nasional serta banjirnya produk-produk asing masuk ke pasar nasional. Sehingga, hal ini akan berdampak terhadap produsen nasional. Dengan demikian, pemerintah perlu mencari solusi yang tepat merespons rencana kenaikan tarif impor Amerika Serikat.
“Kebijakan tarif tinggi era Trump ini memicu instabilitas global. Perang dagang AS–Tiongkok berdampak sistemik terhadap rantai pasok dan arsitektur perdagangan dunia. Sehingga, Indonesia perlu respon hukum dan ekonomi yang adaptif,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Sinta Dewi Rosadi Sinta dalam Webinar Worry Not to Worry Trump Policy on Tariff yang diselenggarakan Ikatan Alumni dan Departemen Hukum Bisnis Transnasional FH Unpad, Sabtu (10/5).
Dia menilai terdapat tiga pertanyaan besar terkait posisi Indonesia atas kebijakan tarif ini. Pertama, posisi Indonesia di tengah krisis peran World Trade Organization (WTO) dan perang dagang. Kedua, kebijakan yang perlu diambil Indonesia untuk mengimbangi tekanan proteksionisme Amerika Serikat tanpa mengabaikan liberalisasi. Ketiga, langkah Indonesia dan negara-negara Global South untuk bangkit di tengah perang dagang ini.
Agar kebijakan tarif ini tidak memukul perekonomian Indonesia, pemerintah perlu mengurangi ketergantungan pada satu atau dua negara tujuan ekspor misalnya AS atau Tiongkok. Kemudian, Indonesia juga perlu membuka pasar baru di kawasan Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah, dan memperkuat perjanjian perdagangan bilateral. Serta, aktif di forum multinasional seperti ASEAN, RCEP, WTO, APEC, dan G33 untuk menyuarakan kepentingan negara berkembang.
Indonesia pun perlu memperkuat rantai pasok dalam negeri agar tidak tergantung pada komponen dan bahan baku dari negara yang terlibat dalam perang dagang. Prof Sinta menekankan agar Indonesia menggunakan jalur WTO jika terjadi tindakan diskriminatif atau pelanggaran tarif terhadap produk Indonesia. Kemudian, Indonesia harus membangun kapasitas hukum perdagangan internasional di level nasional seperti lembaga negara, akademisi, diplomat.
Dalam kesempatan sama, dosen FH Universitas Airlangga, Intan Innayatun Soeparna menilai kebijakan Trump itu dapat dikaji mengenai potensi terjadinya pelanggaran kesepakatan internasional. Dia menjelaskan untuk menetapkan tarif tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang.
“Kalau kebijakan tarif sewenang-wenang maka melanggar prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT),” jelas Intan.
Dia menjelaskan terdapat syarat-syarat bagi suatu negara untuk menentukan tarif tersebut. Persyaratan tersebut antara lain penerapan prinsip anti-diskriminasi, adanya proses negosiasi antar negara, serta penerapan tarif tertinggi atau bound tariff.
Langkah gugatan terhadap Amerika Serikat terhadap WTO juga dapat ditempuh seperti yang dilakukan Tiongkok. Namun, Intan menilai langkah ini tidak efektif karena kebijakan tarif impor tetap berlaku selama belum ada keputusan dari WTO.
“Meskipun penyelesaian sengketa di WTO memiliki timeline yang ketat, selama belum ada Keputusan, negara yang melanggar aturan tarif akan bisa tetap menerapkan kebijakannya. Krisis perdagangan akan terus berlangsung,” paparnya.
Dia mendorong pemerintah agar aktif bernegosiasi dengan Amerika Serikat untuk melindungi perekonomian nasional. Selain itu, Indonesia juga harus memperkuat dan memperluas kerja sama perdagangan internasional dengan negara-negara lain.
Perwakilan Kementerian Perdagangan, Christianto Tonggo A.S menyampaikan kebijakan tarif ini akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Dia menyampaikan pemerintah berupaya menyusun kebijakan dagang seperti reformasi kemudahan berusaha dan meningkatkan daya saing. Selain itu, kebijakan deregulasi sesuai dengan ketentuan WTO.
Selain itu, pemerintah juga akan memodernisasi kebijakan ekonomi, investasi dan perdagangan. Rencana tersebut dilakukan melalui penguatan regulasi investasi dan perlindungan Investor, pembukaan akses pasar baru, deregulasi peraturan ekspor-impor, penguatan saluran penyelesaian sengketa alternative untuk perselisihan investasi, dan perdagangan internasional di Indonesia.