RUU Pengelolaan Ruang Udara Perlu Mengatur Perizinan Berbasis Risiko

Berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris sudah menerapkan perizinan berbasis risiko untuk penggunaan ruang udara.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Ruang Udara kembali bergulir di DPR. Panitia Khusus (Pansus) RUU mengundang beberapa ahli di bidang ruang udara salah satunya Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wahyudi Hasbi.

Wahyudi mengatakan perkembangan teknologi memunculkan tantangan baru. Pesatnya inovasi di bidang udara dan antariksa menuntut sistem perizinan dan pengawasan yang lebih adaptif. Perkembangan teknologi yang berkaitan dengan ruang udara seperti Drone/UAV digunakan untuk survei, pemetaan, bahkan eksperimen sensor.

Balon atmosfer dan HAPS berfungsi sebagai pemancar komunikasi, pemantauan, dan pengintaian. Ada BTS in space menggunakan hub atau balon untuk komunikasi, sudah diuji beberapa negara dan berpotensi masuk Indonesia. Eksperimen suborbital dan wahana otonom meningkatkan kebutuhan zona eksperimen di udara tinggi, bahkan wisata suborbital.

“Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang telah mengembangkan sistem izin berbasis risiko dan zona eksperimen udara khusus, sementara Indonesia masih bergantung pada izin manual multi-lembaga,” kata Wahyudi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Pansus RUU Pengelolaan Ruang Udara, Selasa (6/5/2025) kemarin.

Wahyudi menyebut Jepang punya area khusus di wilayah Hokkaido untuk melakukan kegiatan eksperimen peluncuran roket dan drone. Otoritas Jepang mengundang berbagai perusahaan terkait untuk melakukan eksperimen di wilayah tersebut. Kegiatan itu menghasilkan pemasukan ekonomi bagi Jepang.

“Mereka bisa melakukan eksperimen tanpa perlu banyak perizinan. Amerika Serikat juga punya area serupa,” ujarnya.

RUU pengelolaan Ruang Udara diperlukan untuk menyatukan seluruh kerangka hukum yang sebelumnya tersebar di berbagai regulasi. Menyediakan kepastian hukum atas perizinan, pengawasan, dan pemanfaatan ruang udara. Mewujudkan sistem pengelolaan yang efisien, terintegrasi dan menjamin perlindungan terhadap kepentingan nasional. Menjawab tantangan teknologi modern melalui pendekatan hukum yang fleksibel dan tegas.

Wahyudi mencatat perizinan untuk penelitian ilmiah di ruang udara nasional diatur dalam beberapa peraturan seperti UU No.11 Tahun 2019 Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). Penelitian asing di Indonesia perlu izin BRIN dan melibatkan mitra nasional.

Prosedur izin penelitian asing seperti yang ditetapkan BRIN memerlukan clearance etik, proposal riset, pengecekan daftar hitam, pembayaran PNBP, dan pengurusan dokumen tambahan. Termasuk Security Clearance (SC) dan Security Officer (SO) dari Kementerian Pertahanan (Kemhan) jika menyentuh wilayah strategis seperti ruang udara.

Peraturan Menteri Pertahanan No.20 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 26 Tahun 2013 tentang Pengamanan Survei dan Pemetaan Wilayah Nasional mengatur kegiatan survei udara seperti pengambilan citra udara (foto/video), LIDAR, airborne SAR dan sejenisnya wajib mendapatkan SC dan pendampingan SO dari Kemhan.

“Ini berlaku sampai hari ini kalau mau survei di udara melalui Kemhan,” imbuhnya.

Prosedur perizinan saat ini berlaku multi sektor mulai dari BRIN untuk riset ilmiah, Kemhan untuk SC dan SO. Kementerian Perhubungan untuk koordinasi navigasi udara dan TNI AU pengamanan teritorial ruang udara.

“Namun belum ada single-window system sehingga memerlukan koordinasi dan akibatnya memperlambat proses perizinan,” paparnya.

Wahyudi menghitung sedikitnya 3 kekurangan dalam perizinan di indonesia. Pertama, tidak ada sistem terpadu berbasis digital satu pintu. Kedua, tidak tersedia sistem fast-track untuk riset non-strategis atau sipil murni. Ketiga, negara seperti AS, Inggris, Jepang, sudah menerapkan sistem izin berbasis klasifikasi risiko. Misalnya, untuk ketinggian udara 100 meter tidak perlu izin.

“Ini yang perlu diatur dalam Pasal (RUU Pengelolaan Ruang Udara,-red) atau peraturan turunan dan pre approved research corridors di ruang udara,” usulnya.

Koordinasi antar lembaga dalam perizinan penelitian ruang udara antara lain BRIN, Kemhan, Kemenhub, dan TNI AU. Sayangnya, belum ada basis hukum yang kuat untuk mendorong interoperabilitas antar lembaga. Misalnya, menerbangkan drone untuk pemetaan, perlu izin BRIN, SC/SO, Kemhan, clearance terbang dari Kemenhub, dan notifikasi kepada TNI AU. RUU perlu mengatur skema koordinasi hukum formal berbasis clearing house dengan sistem terpadu yang mewajibkan integrasi basis data dan persetujuan lintas kementerian.

Ketua Pansus RUU Pengelolaan Ruang Udara, H.M Endipat Wijaya, mengatakan ruang udara berkaitan dengan teknologi. Sehingga perlu diantisipasi teknologi seperti apa yang akan muncul di masa depan, mengingat revisi UU tak selalu dilakukan setiap tahun. Bahkan ada UU yang revisinya menunggu belasan sampai puluhan tahun. Selain itu bidang lainnya juga perlu mendapat perhatian dalam RUU seperti isu lingkungan hidup.

“Dalam membuat UU ini kita jangan hanya melihat ke belakang saja tapi juga potensi perkembangan teknologi ke depan,” papar politisi fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *