Langkah ini merupakan bentuk perlawanan terhadap ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang dinilai menghambat hak konstitusional partai politik serta mereduksi kualitas demokrasi di tingkat lokal.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Semarang resmi mengajukan permohonan judicial review terhadap UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Langkah ini diambil sebagai bentuk perlawanan terhadap ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang dinilai menghambat hak konstitusional partai politik serta mereduksi kualitas demokrasi di tingkat lokal.

Kuasa hukum HMI Semarang, Gilang Muhammad Mumtaaz menegaskan permohonan ini fokus pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, yang mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik memiliki minimal 20 persen suara sah atau 25 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dapat mengusung pasangan calon kepala daerah.

“Permasalahan utama ada pada ambang batas tersebut. Meski Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menurunkan batas itu menjadi 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih tetap, kami melihat angka ini tetap menjadi hambatan serius bagi partisipasi politik yang merata,” kata Gilang kepada Hukumonline di Gedung MK, Jumat (23/5/2025).

Gilang menegaskan perubahan melalui Putusan MK 60 tetap menyisakan ketimpangan. Pasalnya hanya menyerupai ketentuan yang diberlakukan bagi calon perseorangan, bukan penghapusan total seperti pada Putusan MK 62/PUU-XXII/2024 tentang Presidential Threshold. Keberadaan ambang batas tersebut pun justru memperkuat dominasi partai besar dan membatasi munculnya alternatif calon dari kelompok politik kecil yang seharusnya tetap punya ruang dalam demokrasi.

“Presidential threshold sudah dihapus oleh Mahkamah. Maka seharusnya ambang batas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) juga bisa diperlakukan sama. Kami ingin Mahkamah menafsirkan ulang bahwa partai politik, peserta pemilu siapapun dan berapapun perolehan suaranya berhak mencalonkan kepala daerah tanpa batas persentase,” jelasnya.

Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) HMI Semarang, Khalid Irsyad Januarsyah menambahkan, alasan akademis dan konstitusional di balik pengajuan judicial review tersebut. Terlebih lagi, sebagai mahasiswa hukum tentu tidak bisa tinggal diam ketika melihat penyimpangan.

“Kami paham bahwa hukum tidak sempurna. Namun kami sebagai mahasiswa hukum dibekali semangat untuk tidak tinggal diam ketika melihat penyimpangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusionalisme,” ungkap Khalid.

Dia memaparkan proses penyusunan permohonan judicial review ini telah berjalan selama hampir lima bulan dengan melibatkan analisis hukum dan politik secara mendalam. Putusan MK 62/2024 yang menghapus presidential threshold menjadi titik balik yang memotivasi tim HMI Semarang.

“Putusan MK 62 itu adalah landmark decision. Itu menunjukkan MK bisa progresif. Maka kami ingin Putusan MK 60 tentang ambang batas Pilkada juga diarahkan ke semangat yang sama, guna menghapuskan ambang batas, dan memberikan ruang bagi partisipasi yang lebih adil,” tuturnya.

Khalid berpandangan ambang batas yang ada saat ini bukan hanya soal angka, tapi soal ketimpangan struktural yang menghambat regenerasi kepemimpinan dan penguatan demokrasi lokal. Partai-partai kecil pun terhambat untuk bisa mencalonkan kader terbaiknya.

“Bursa calon menjadi sempit, dan masyarakat tidak punya banyak pilihan. Ini bertentangan dengan amanat Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,” paparnya.

Dia menegaskan, permohonan ini tidak hanya mewakili HMI, tetapi juga suara mahasiswa sebagai warga negara yang peduli terhadap kualitas demokrasi Indonesia. Demi memastikan hak memilih dan dipilih tidak dibatasi oleh aturan yang tidak proporsional.

Ketua Umum HMI Semarang, Andi Irfan pun menyebutkan, langkah ini murni inisiatif dari HMI di tingkat cabang. Menurutnya tidak ada arahan ataupun intervensi dari Pengurus Besar HMI (PB HMI). Sedari awal, proses penyusunan permohonan judicial review ini dipelopori oleh bidang hukum dan HAM. Kami libatkan mahasiswa hukum dari berbagai universitas di Semarang seperti Undip, Unnes, dan UIN Walisongo.

“Ini murni gerakan dari kami di Semarang,” tegas Andi.

Dia menambahkan bahwa semangat dari pengajuan ini berangkat dari kegelisahan terhadap dinamika politik pasca pemilu 2024, terutama menjelang pelaksanaan Pilkada yang direncanakan pada November tahun lalu. Di mana banyak fenomena calon tunggal yang mewarnai kontestasi Pilkada tersebut.

“Kami melihat fenomena calon tunggal makin marak. Dalam Pilkada terakhir saja, ada 37 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon. Bahkan di dua daerah, kota kosong menang. Ini jelas kemunduran demokrasi,” ujarnya.

Dia menegaskan permohonan judicial review ini adalah bagian dari tanggung jawab moral mahasiswa untuk mengawal demokrasi agar tetap berpihak pada rakyat, bukan pada oligarki kekuasaan. Sehingga, Pilkada tidak dijadikan sekedar panggung bagi partai-partai besar.

“Kami ingin semua partai bisa berpartisipasi dalam Pilkada khususnya. Bahkan partai yang kecil sekalipun, punya hak yang sama. Ini adalah bentuk perjuangan mahasiswa untuk memperluas akses demokrasi,” tutup Andi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *