Menjawab Legalitas Tanah Warisan Pasca Nasionalisasi

Ketika buku ini diluncurkan di gedung Pascasarjana Universitas Pelita Harapan, Jakarta, pada 22 Mei lalu, acara yang seharusnya berakhir pada tepat pukul dua belas siang terpaksa mundur lebih dari satu jam. Banyak peserta diskusi yang ingin mengajukan pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang menarik, apakah grondkaart merupakan bukti kepemilikan tanah atau sekadar petunjuk.

Hari itu, puluhan peserta dari beragam latar belakang memang sedang mendiskusikan buku yang ditulis Susilo Lestari, “Pemberlakuan Legalitas Tanah Geweizigde Grondkaart Pasca Nasionalisasi”. Karya ini berasal dari disertasi penulis di Pascasarjana UPH Jakarta, dan diterbitkan K-Media Yogyakarta (2025). Dilihat dari judulnya, buku ini berfokus pada legalitas status gewijzigde grondkaart yang diterbitkan pada era penjajahan Belanda terutama setelah nasionalisasi.

Susilo Lestari, sang penulis, menjelaskan merasa terpanggil melihat banyaknya aset tanah PT Kereta Api Indonesia yang belum bersertifikat dan dikuasai pihak ketiga. Bayangkan betapa banyak aset tersebut jika dihitung dari jalur kereta api dari Anyer ke Panarukan, juga di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. “Itu menimbulkan kerawanan,” ujarnya.

Untuk memahami latar belakang aset PT KAI tersebut, mau tidak mau Susilo Lestari melakukan penelusuran historis. Awalnya, ada dua belas perusahaan kereta api swasta yang memperoleh kuasa usaha transportasi dari pemerintah Hindia Belanda pada 1863. Demi kebutuhan pembangunan jalur, pemerintah Hindia Belanda mengadakan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan. Setelah itu dilakukan pengukuran, dan dituangkan dalam peta disertai lampiran. Peta tanah dan lampirannya ditandatangani Residen Batavia atau Kantor Agraria. Dokumen inilah yang kemudian dikenal sebagai gewijzigde grondkaart. Landasan hukum pengadaan tanah grondkaart itu didasarkan pada Besluit van Gouvernmement General Nomor 7 tanggal 14 Oktober 1895. Dalam besluit ini disebutkan bahwa grondkaart adalah pengganti resmi bukti administrasi kepemilikan lahan. Namun, sesuai Staatsblad 1911 Nomor 110 dan Staatsblad 1940 Nomor 430, bukti yang diperlukan untuk kepemilikan tanah cukup didasarkan pada penguasaan atau bestemming saja (hal. 5).

Dalam perkembangannya, aset kereta api swasta itu diserahkan kepada perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda, Staatspoorwagen (SS). Sebagaimana diketahui, melalui Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958, Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan warisan Belanda, termasuk SS. Peraturan Pemerintah No. 40 dan No. 41 Tahun 1959 mengatur lebih lanjut nasionalisasi kereta api warisan Belanda. Perusahaan kereta api Hindia Belanda menjadi milik negara Republik Indonesia karena bisnis perusahaan ini menguasai hajat hidup orang banyak (hal. 70).

Lewat buku ini, Susilo Lestari tak hanya mengupas aspek historis, tetapi juga aspek yuridis dan praktis terkait tanah yang terdaftar dalam gewijzigde grondkaart. Ketika menggunakan batasan waktu ‘pasca nasionalisasi’, perempuan yang berprofesi sebagai advokat ini tak hanya memberikan pemahaman yang lebih baik tentang tanah gewijzigde grondkaart, tetapi juga melakukan kontekstualisasinya dengan regulasi pertanahan terkini. Misalnya, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Pasal 95 ayat (1) PP ini menyebutkan alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Hasil studi yang dilakukan doktor Susi ini harus diakui sangat berguna bagi PT KAI, tetapi implikasinya jauh melampaui kebutuhan perusahaan kereta api. Apalagi, seperti disinggung di awal, legalitas gewijzigde grondkaart sebagai bukti kepemilikan aset masih menjadi perdebatan. Apalagi jika melihat realitasnya saat ini.

Tanah yang terdaftar dalam gewizigde grondkaart pada dasarnya meliputi tanah jalur kereta api, tanah emplacement stasiun kereta api, dan tanah fasilitas operasional sarana kereta api (hal. 9). Dengan menggunakan kacamata untuk melihat realitas kekinian, karya Susilo Lestari ini sangat penting untuk dibaca. Seperti kata mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan dalam kata pengantar: buku ini menjadi rujukan penting bagi akademisi, praktisi, pembuat kebijakan dan seluruh pihak yang terlibat dalam pengelolaan aset nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *