LBH Apik Usul RUU PPRT Atur Syarat Agen Penyalur PRT Berbadan Hukum

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) terus berjalan. Badan Legislasi (Baleg) DPR telah meminta masukan dari berbagai pihak melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU). Seperti dari pihak kementerian maupun organisasi masyarakat sipil.

Direktur LBH Apik Jakarta, Uli Arta Pangaribuan, mengatakan selama ini PRT luput diatur UU No.13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan dan UU No.6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. PRT penting diakui sebagai pekerja formal.

Praktiknya selama ini hak-hak PRT sebagai pekerja kerap diabaikan karena dianggap informal. Dari berbagai kasus yang didampingi selama ini LBH Apik mencatat berbagai pelanggaran yang menimpa PRT seperti beban kerja berlebihan, tak mendapat waktu istirahat, libur, dan upah tidak sesuai. Persoalan ini diperparah absennya perjanjian kerja yang jelas dan tertulis.

“Kami banyak mendampingi kasus-kasus PRT,” katanya dalam RDPU dengan Baleg DPR, Senin (26/5/2025).

Perjanjian kerja antara pemberi kerja dan PRT menurut Uli wajib diatur beberapa hal seperti identitas para pihak, besaran upah, dan proses pembayarannya. Hak dan kewajiban para pihak, jenis dan uraian pekerjaan, kondisi dan syarat kerja yang memuat waktu kerja, istirahat, libur, hak cuti, tunjangan hari raya keagamaan dan fasilitas kerja. Perjanjian ini wajib ditandatangani para pihak dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

Pemberi kerja, agen penyalur, dan PRT harus diposisikan secara setara. Ketiganya menjalankan hak dan kewajiban sesuai kesepakatan dan aturan yang berlaku. Perjanjian kerja antara ketiga pihak itu harus berlandaskan kesepakatan bersama. Agen penyalur PRT harus berbadan hukum dan terdata atau tercatat di instansi pemerintahan terkait. Tujuannya untuk menghindari berbagai potensi kerugian yang muncul dari hubungan kerja antara pemberi kerja dan PRT.

“Kami kerap menjumpai ada agen penyalur tidak bertanggungjawab ketika ada kekerasan yang menimpa PRT. Ketika ada persoalan, penyalur harus bertanggungjawab atas kasus yang dialami PRT,” ujar Uli.

Soal mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja dilakukan secara bertahap mulai dari musyawarah untuk mufakat, mediasi didampingi pihak RT/RW, mediasi melalui mediator dinas ketenagakerjaan setempat. Penyelesaian perselisihan hubungan kerja PRT dilakukan secara bertahap.

Mulai dari musyawarah mufakat, mediasi dengan mendampingi pihak RT/RW, dan mediasi yang didampingi instansi ketenagakerjaan setempat. Agen penyalur juga ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah perselisihan. Jika terjadi pelanggaran yang bersifat pidana langsung menggunakan mekanisme yang berlaku dalam sistem peradilan pidana yang berlaku.

Hak pelatihan

Uli mengusulkan RUU PPRT mengatur hak pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja PRT. Pelatihan dapat dilakukan agen penyalur melalui Balai Latihan Kerja. Materi pelatihan utamanya memuat soal hubungan kerja, keterampilan dan hal lain yang menunjang pekerjaan. Pemerintah berperan melakukan sosialisasi RUU PPRT kepada masyarakat dan internal pemerintah.

Pemerintah daerah juga ikut berperan melakukan pengawasan melalui pengawas dinas ketenagakerjaan. RUU bisa mengatur koordinasi antara pengawas ketenagakerjaan dengan RT/RW tempat PRT bekerja. Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan dan mengawal implementasi RUU PPRT.

Hak dan kewajiban PRT yang diatur RUU setidaknya disesuaikan dengan hukum nasional dan internasional seperti hak mendapat upah, tunjangan dan jaminan sosial. Hak mendapat perjanjian kerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Hak mendapat waktu istriahat, jam kerja yang wajar, cuti, dan libur sesuai kesepakatan.

PRT berhak mendapatkan makanan dan minuman yang sehat dan bergizi. Pelatihan dan pengembangan kapasitas, tanpa kekerasan dan non diskriminasi. Hak berserikat, beribadah sesuai agama dan kepercayaan yang diyakini. Hak atas perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

Pada kesempatan yang sama perwakilan Womens Crisis Center Yogyakarta, Rifka Annisa,  mencatat sejumlah persoalan yang dihadapi PRT seperti upah yang didasarkan pada batas kemampuan pemberi kerja, komponen upah tidak dijelaskan rinci, tidak ada kenaikan upah selama bertahun-tahun, fasilitas minim dan tidak ada perjanjian tertulis.

“Praktiknya, pemberi kerja tidak memberi batasan kerja yang jelas bagi PRT,” imbuhnya.

Status PRT diusulkan sebagai pekerja formal untuk memastikan perlindungan hukum dan pemenuhan hak terutama upah, jaminan sosial, perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan. Perjanjian kerja secara tertulis tak sekedar memberi perlindungan terhadap PRT tapi juga memberi kepastian kepada majikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *