Examinasi partisipasi masyarakat dalam kerangka pengaturan mengenai kegiatan pembangunan di Indonesia masih langkah jauh. Tetapi, pemajuan terhadap penyempurnaan pengaturan masih tetap perlu dilakukan. Sengkarut pagar laut di Tangerang dan Bekasi sekadar salah satu indikasi bahwa desain dari negara menyediakan kanal-kanal dan tata cara partisipasi masyarakat masih belum berkembang.
Kontroversi pagar laut di wilayah Tangerang dan Bekasi masih berlanjut. Beberapa sorotan diantaranya adalah aspek legalitas penerbitan izin atas lahan. Dari isu tersebut muncul informasi bahwa pagar laut sepanjang 30,16 kilometer dari Desa Muncung Kronjo sampai Pakuhaji menganggu aktivitas 3.889 nelayan ditambah 502 pembudidaya. Dari keterangan masyarakat yang muncul dalam pemberitaan mengungkap hampir tidak ada sosialisasi kegiatan pemasangan pagar laut tersebut untuk proyek apa dan seperti apa masyarakat akan terdampak.
Terdapat juga sinyalemen yang mengkaitkan pemasangan pagar laut dengan proyek strategis nasional PIK2. Selain itu, pemasangan pagar laut di Bekasi direncanakan untuk penataan alur pelabuhan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Paljaya dengam cara reklamasi yang disinyalir ilegal.
Publik menunggu sejauh mana responsifnya pemerintah pusat dan provinsi terkait, dalam hal ini yang mempengaruhi sumber dan cara masayarakat memperoleh penghidupannya. Tidak cukup dari itu, lokasi yang menjadi titik pemagaran adalah wilayah laut, sejatinya menjadi common good. Dengan kata lain, bukan hanya kepentingan masyarakat yang terdampak, tetapi juga siapa saja subjek-subjek yang berhak berkepentingan untuk peruntukan lahan perairan.
Persoalan hukum sudah mendapat penekanan dari para ahli. Misalnya, mengenai isu maladminsitrasi dari keabsahan penerbitan sertifikat penguasaan lahan. Isu yang lainnya ada yang menarik ke ranah korupsi yang berkaitan kecurigaan adanya gratifikasi untuk mempermudah penerbitan izin. Puncaknya, isu mempertanyakan keputusan yang berkeadilan sebagai imbalan dari ground breaking kegiatan di IKN dengan pemberian fasilitas PIK2. Hal yang tidak berhindarkan setiap rencana kegiatan pembangunan baik di perkotaan maupun perdesaan mengenai apakah partisipasi publik terselenggara secara bermakna?
Perhatian terhadap partisipasi masyarakat seringkali berkelindan dengan dampak dari suatu kegiatan pembangunan terhadap lingkungan. Dalam konteks ini menjadi relevan untuk memperhatikan pengaturan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Achmad Muchsin pernah menyoroti pengaturan dalam Pasal 70 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan hak untuk berpartisipasi bagi masyarakat dengan cakupan segmen yang cukup luas dalam hal proses penyusunan suatu analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Akan tetapi, pasal tersebut dipersempit oleh UU Cipta Kerja dengan merekognisi masyarakat yang dapat berpartisipasi hanya mereka yang terdampak langsung akibat pelaksanaan suatu kegiatan pembangunan. Lebih tegasnya, kelemahan pengaturan ini dipandang bertentangan dengan hak-hak konstitusional yang dapat berakibat pada kelemahan juga pada pelaksanaan hukum administrasi (Achmad Muchsin; 2024).
Analisis Dampak Sosial
Ketersediaan pengaturan yang terbatas seperti itu pun ternyata tidak dihidupkan oleh para subjek yang seharusnya berfungsi dalam contoh sengkarut pagar laut. Faktor kelemahan pertama adalah sempitnya siapa yang berhak berpartisipasi. Kelemahan kedua adalah masyarakat yang memiliki alas hak itu pun ternyata kurang terlibatkan secara bermakna. Konsen penulis malah menuntut lebih berkualitas dari ketersediaan dan ditaatinya pengaturan tersebut yang melandasi persyaratan analisis mengenai dampak sosial. Terdapat model suatu kajian atau analisis tersebut seperti model di Malaysia dan Brazil dengan sebutan (Social Impact Assesment-Malaysia) dan (Neighborhood Impact Statements NIS-Brazil).
Social Impact Assesment (SIA) dalam rezim Hukum mengenai Perencanaan Perkotaan dan Perdesaan (Section 20B dan 20B(2) TCPA 1976) di Malaysia merupakan salah satu dokumen yang dipersyaratkan untuk mengajukan permohonan izin untuk melaksanakan kegiatan pembangunan. Di dalamnya terdapat materi muatan mengenai identifikasi, prediksi, evaluasi terhadap pilihan-pilihan, dan informasi mengenai dampat dari rencana kegiatan pembangunan, program, dan kebijakan yang diajukan terhadap komunitas dan aktivitasnya, serta bagaimana cara-cara memitigasi dampak tersebut.
Model di Brazil, NIS merupakan dokumen yang dipersyaratkan untuk proses pembangunan dan kegiatan penggunaan lahan, yang bersifat privat maupun publik sebagai bagian dari proses pengajuan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Di antara kegiatan pembangunan yang dimaksud bisa berupa kegiatan konstruksi, pengembangan, atau operasionalisasi suatu proyek pembangunan (City Statute, 2001).
Kedua pranata tersebut merupakan kanal bagi perwujudan partisipasi masyarakat di luar bentuk yang disertakan ke dalam suatu analisis mengenai dampak lingkungan, seperti di Malaysia yaitu environmental impact assessment (EIA) dan di Brazil yaitu Environmental Impact Statements (EIS) dalam rangka memperoleh suatu izin lingkungan.
Dengan memetakan kanal partisipasi masyarakat seperti yang diinventarisasi di atas seharusnya interaksi antara negara, pihak yang akan dan sedang menjadi pengembang proyek pembangunan, dan masyarakat, dapat terpelihara. Seharusnya negara melalui perangkat administrasi pemerintahan pusat dan daerah menjadi fasilitator untuk menunjukkan informasi bahwa terdapat rencana suatu kegiatan pembangunan, sehingga masyarakat dapat merespon dan mengajukan keberatan terhadap rencana tersebut.
Dengan seperti itu, terdapat peluang bagi masyarakat untuk merasa dianggap dimanusiakan sebagai entitas yang hidup, bukan diabaikan keberadaannya. Bahkan, bentuk sosialisasi informasi saja bagi masyarakat masih dapat dirasakan ada manfaatnya. Padahal, satu model seperti itu saja yang oleh Sherry Arnstein dikategorikan sebagai level manipulation dan therapy, dianggap sebagai derajat partisipasi yang paling rendah, bahkan belum masuk label partisipasi.
Untuk itu, dapat diberikan suatu examinasi bahwa partisipasi masyarakat dalam kerangka pengaturan mengenai kegiatan pembangunan di Indonesia masih langkah jauh. Dengan kondisi yang demikian, pemajuan terhadap penyempurnaan pengaturan masih tetap perlu dilakukan. Sengkarut pagar laut di Tangerang dan Bekasi sekadar salah satu indikasi bahwa desain dari negara menyediakan kanal-kanal dan tata cara partisipasi masyarakat masih belum berkembang.