Dalam konteks industrialisasi, Bob Hasan juga menyoroti bahwa Indonesia memiliki sumber daya mineral yang lebih luas daripada yang selama ini dieksploitasi. Ia mencontohkan bahwa negara masih mengimpor pupuk dari Rusia, padahal bahan baku seperti natrium, fosfat, dan kalium tersedia di dalam negeri.
“Jika mineral ini kita jadikan subjek pemberdayaan yang sesungguhnya, maka potensi kita bisa lebih maksimal. Ini akan mendorong industrialisasi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada impor,” ucapnya.
Salah satu poin yang disoroti dalam UU Minerba ini adalah penertiban tambang rakyat yang selama ini kerap dianggap ilegal. Bob Hasan mengungkapkan salah satu penyebab utama permasalahan tambang ilegal adalah ketidakjelasan klasifikasi dan regulasi yang mengaturnya.
Banyak tambang rakyat yang dianggap ilegal karena tidak memiliki klasifikasi yang jelas. Dengan adanya payung hukum yang baru, kita memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan kegiatan pertambangan secara legal. Baik itu masyarakat adat, UMKM, koperasi, maupun perseorangan dapat terlibat dalam aktivitas ini dengan mekanisme yang telah diatur,” ungkapnya.
Selain itu, ia menekankan bahwa keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan besar dalam sektor pertambangan tidak akan terpinggirkan. Sebaliknya, mereka bisa berperan sebagai mitra strategis, baik dalam bentuk pemodal maupun dalam membangun ekosistem pertambangan yang berkelanjutan.
Selanjutnya, Bob Hasan menjelaskan terdapat klaster-klaster tertentu terkait dengan perguruan tinggi, organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, koperasi, dan UMKM. Khusus untuk perguruan tinggi dan ormas keagamaan, terdapat skema prioritas dalam perolehan izin usaha pertambangan.
Dalam hal ini, prioritas tersebut berbentuk non-lelang, yang berarti mereka dapat memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa melalui proses lelang. Namun, dalam ketentuan undang-undang, perguruan tinggi hanya mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).
Perguruan tinggi memiliki ruang untuk melakukan eksplorasi dan penyelidikan, tetapi dalam konteks yang berbeda dibandingkan dengan BUMN, BUMD, atau swasta. Pengelolaan yang dilakukan lebih difokuskan pada WIUP. Dari situ, kata dia, keterlibatan perguruan tinggi dalam sektor pertambangan lebih banyak berkaitan dengan aspek royalti.
Adapun implementasi regulasi ini perlu dilakukan secara bertahap. Jika terlalu drastis, memungkinkan akan menimbulkan tantangan dalam penerapannya. Oleh karena itu, ia berharap ke depan peraturan pemerintah bisa lebih rinci, bahkan mungkin berkembang menjadi peraturan presiden yang lebih spesifik mengatur keterlibatan perguruan tinggi dalam WIUP.
“Mungkin mesti pelan-pelan kali itu. Kalau terlalu langsung, mungkin masih terlalu kontras kita dan ya, kita coba secara pelan-pelan. Mungkin mudah-mudahan nanti peraturan pemerintah bisa jadi peraturan presiden atau peraturan pemerintah menentukan perguruan tinggi WIUP,” katanya.
Saat ini, ia memaparkan sedang berada dalam tahapan awal penerapan skema WIUP bagi perguruan tinggi sesuai dengan undang-undang. Namun, kedepan, peraturan pelaksanaannya mungkin akan lebih luas, mencakup aspek lain seperti pengelolaan AMDAL dan pengawasan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945.
Selain itu, skema IUP ini juga berlaku bagi ormas keagamaan. Dengan demikian, pada tahap awal eksplorasi dan penemuan sumber daya, perguruan tinggi harus turut serta dalam kajian dan penelitian yang mendasari perizinan. Sementara itu, ormas keagamaan juga diberikan akses dalam skema WIUP.
Saat ini, perguruan tinggi umumnya terlibat dalam aspek kajian lingkungan dan AMDAL. Namun, kata dia, tantangan terbesar adalah masih terbatasnya perguruan tinggi yang memiliki fakultas pertambangan atau kapasitas dalam penyelidikan geologi.
Ke depan, keterlibatan perguruan tinggi dalam industri pertambangan tidak hanya akan melalui kajian akademik, tetapi juga melalui badan usaha yang berafiliasi dengan perguruan tinggi tersebut. Model ini memungkinkan perguruan tinggi untuk bekerja sama dengan BUMN atau BUMD dalam bentuk kemitraan strategis.
Meskipun UU Minerba ini telah disahkan, Bob Hasan mengakui bahwa masih diperlukan regulasi teknis lebih lanjut untuk mengatur implementasi kebijakan ini. Ia menekankan pentingnya peraturan pemerintah dan peraturan presiden untuk memberikan kejelasan bagi perguruan tinggi, ormas, serta entitas lainnya yang ingin berpartisipasi dalam industri pertambangan.
“Peraturan pelaksanaan akan menentukan sejauh mana perguruan tinggi dapat berpartisipasi. Apakah nanti mereka bisa lebih dari sekadar penelitian dan eksplorasi, atau bahkan bisa berkontribusi dalam pengelolaan industri pertambangan secara lebih luas,” jelasnya.