Di tengah kemunduran demokrasi global muncul pola baru bagaimana kekuasaan otoriter dijalankan bukan lagi melalui senjata, tapi melalui konstitusi. Demokrasi bisa berubah arah secara diam-diam melalui manipulasi hukum dan prosedur yang sah secara formal, namun bertentangan secara substansi. Indonesia pun tak luput dari potensi ancaman tersebut.
Fenomena ini menjadi pembahasan utama dalam Dialog Kebangsaan: Critical Points dalam Implementasi Konstitusi” yang digelar oleh Jimly School of Law and Government di Jakarta, Kamis (17/4). Dalam forum tersebut, Guru Besar Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Ija Suntana, menegaskan bahwa para pemimpin populis kini semakin canggih dalam mempertahankan kekuasaan.
”Demokrasi sedang menurun di berbagai negara. Konstitusi sedang dilirik pemimpin-pemimpin dunia agar mereka jadi pemimpin yang otoriter, pemimpin populasi sedang arah ke sana, mereka rekayasa konstitusi sehingga bisa jadi penguasa yang otoriter,” ungkap Ija.
Ia mencontohkan kecenderungan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menunjukkan dorongan ke arah tersebut. Selain itu, gejala ini juga tampak di Eropa dan negara-negara demokratis lainnya. Untuk memperkuat kekuasaannya tersebut, para pemimpin tidak lagi menggunakan kekuatan militer tapi melalui perubahan konstitusinya.
”Sekarang enggak mungkin pakai kekuatan militer, pakai kekuatan konstitusi,” tambahnya.
Ija menambahkan kondisi Indonesia juga hampir serupa. Terdapat kecenderungan penyusunan konstitusi yang tidak melibatkan publik secara penuh atau meaningful participation. Untuk itu, dia menekankan pentingnya peran akademisi, praktisi, media hingga publik luas menjaga konstitusi tetap di jalurnya.
”Di Indonesia kalau nggak ada penegak konstitusi dan pelindung konstitusi maka kemungkinan besar akan diotak-atik dan masuk ke otoritarianisme,” jelasnya.
Dalam kesempatan sama, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengkhawatirkan demokrasi Indonesia saat ini hanya sampul saja. ”Barangkali demokrasi di Indonesia hanya cangkang dan kulit,” jelas Bivitri.
Dia menjelaskan terdapat dua situasi saat ini yang menandakan terjadinya penurunan demokrasi di Indonesia. Pertama, dia menilai terputusnya relasi antara warga dan para pejabat negara.
”Apakah benar rakyat punya wakil rakyat yang benar-benar mewakili rakyat?” ragu Bivitri.
Kedua, semakin minimnya kontrol terhadap kekuasaan sehingga menghasilkan hukum untuk kepentingan penguasa. Saat ini, dia menilai hukum yang secara substantif dan prosesnya tidak tepat maka dianggap tidak punya landasan moral.
Sementara itu, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta, Prof Taufiqurrohman Syahuri memperingatkan bahaya pembuatan UU yang minim legitimasi moral. Hal ini dikhawatirkan UU yang disusun disalahgunakan untuk alat kekuasaan.
”Hukum tanpa etika bisa jadi alat kekuasaan,” pungkasnya.