Open Government Partnership (OGP) tak lagi cukup dipandang sebagai agenda keterbukaan semata. Tapi diposisikan sebagai instrumen strategis untuk mempercepat tercapainya visi Indonesia Emas 2045. Perjalanan panjang OGP dimulai sejak 2011 silam di sela sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Perwakilan tim penulis White Paper OGP, Aryanto Nugroho mengatakan saat itu pemerintah Indonesia bersama pemerintah Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan, dan Filipina mendirikan OGP. Menurutnya OGP digagas sebagai inisiatif multilateral. Di mana tokoh perubahan pemerintah dan masyarakat sipil mengembangkan rencana aksi bersama untuk menciptakan pemerintahan yang inklusif, responsif, dan akuntabel.
“Lebih dari satu dekade yang lalu OGP hadir, maka di tahun 2025 ini akan menjadi momen transisi penting dalam konteks RPJMN dan RPJPN. Harapannya bukan hanya soal OGP, tetapi bagaimana OGP menjadi akselerator menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Aryanto dalam Peluncuran dan Diseminasi White Paper Kemitraan Pemerintahan Terbuka Indonesia, Kamis (8/5/2025) lalu.
Dia menuturkan keberadaan White Paper diharapkan dapat menaikkan kelas OGP Indonesia, bukan hanya stagnan atau bahkan mundur. Karena OGP merupakan platform global kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk membangun tata kelola yang transparan, akuntabel, partisipatif, dan inklusif.
OGP Indonesia telah menunjukkan kiprah penting di panggung OGP global. Bahkan Indonesia meraih penghargaan OGP Awards untuk keterbukaan data pemilu (2016), pengadaan barang dan jasa (2021), serta perluasan bantuan hukum untuk kelompok rentan (2023).
Namun demikian, Aryanto menyoroti masih lemahnya aspek dasar hukum dan kelembagaan OGP. Yakni belum kuatnya dasar hukum, kurangnya pendanaan sekretariat, dan belum kokohnya ekosistem partisipasi masyarakat sipil. Indeks informasi publik dan open budget survey juga masih menurun.
Aryanto menyodorkan beberapa rekomendasi penting. Pertama, mendorong pengesahan Rancangan Perpres Strategi Nasional Keterbukaan Pemerintah sebagai dokumen rujukan nasional. Kedua, merevisi undang-undang terkait. Seperti UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pelayanan Publik, dan UU Administrasi Pemerintahan agar selaras dengan prinsip keterbukaan.
“OGP adalah trigger mechanism yang bisa mempercepat pencapaian misi Asta Cita dan Quick Wins pemerintahan mendatang. Dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, inklusi, dan inovasi, serta mekanisme ko-kreasi, OGP bisa menjadi instrumen penting dalam membangun pemerintahan yang lebih terbuka dan responsif,” ujarnya.
Kepala Badan Strategi Kebijakan (BSK) Kementerian Hukum dan HAM, Andry Indrady, menilai kehadiran White Paper OGP merupakan langkah awal yang baik. Sebab sudah mampu menggambarkan arah kebijakan OGP ke depan. Dia mengingatkan dokumen tersebut tidak boleh berhenti hanya sebagai panduan tertulis.
Dibutuhkan kerangka implementasinya, selain UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Ia mengajak kolaborasi bersama untuk menyusun dasar hukum tata kelolanya. Kementerian Hukum pun siap mengawal proses pembentukan regulasi dalam mendukung OGP, termasuk di tingkat perundangan.
“Saya akan mengawal langsung proses pembahasan hingga tahap harmonisasi dan persetujuan. Di sisi Kementerian Hukum, kami akan memperkuat dan mempercepat penyusunan regulasi yang dibutuhkan agar segera di finalisasi,” tegasnya.
Tapi demikian, keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden. Namun, BSK Kementerian Hukum sepakat bahwa setiap aktivitas kenegaraan yang berdampak pada negara harus sejalan dengan visi dan misi presiden. Dalam hal ini, OGP beririsan langsung dengan agenda Asta Cita Prabowo-Gibran. Khususnya poin ketujuh yang menyoroti penguatan reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta pemberantasan korupsi dan narkoba.
“Secara regulasi, cantolan besarnya sudah ada, tinggal merumuskan rencana aksi yang lebih konkret bersama K/L terkait,” pungkas Andry.