Penanganan Lambat, Permasalahan Coretax Bisa Berimbas ke Bisnis dan Investasi

Berlarut-larutnya perbaikan permasalahan dalam sistem Coretax bakal berdampak pada aktivitas ekonomi terutama terkait kelancaran berbisnis. Bahkan bisa mempengaruhi investasi.

Coretax merupakan platform perpajakan digital yang mengintegrasikan urusan administrasi perpajakan dalam satu dashboard. Keberadaan platform ini bertujuan untuk memudahkan wajib pajak (WP) dalam menunaikan kewajiban perpajakan. Namun implementasi Coretax menemukan banyak kendala.

Platform yang dibangun dengan anggaran Rp1,3 triliun itu menuai kritik dari berbagai lini masyarakat, karena dinilai menghambat proses administrasi pajak dan memberikan efek domino.

Salah satu pihak yang cukup disulitkan dengan implementasi Coretax adalah pelaku usaha. Alih-alih merasakan manfaat yang dijanjikan, Coretax nyatanya mengganggu bisnis proses perusahaan. Pasalnya pajak merupakan komponen penting dalam menjalankan usaha di Indonesia.

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto, berpandangan pemanfaatan Coretax perlu segera diperbaiki dengan cepat. Penanganan kendala teknis Coretax yang diselesaikan dengan waktu yang relatif cepat bisa membangun trust dari masyarakat terhadap sistem perpajakan di Indonesia.

“Memang banyak keluhan dari para pengguna terutama pembuatan faktur pajak. Nah ini harus cepat upaya DJP untuk memperbaiki supaya ada trust dari para Wajib Pajak, baik WP Badan maupun WP Pribadi. Sebaiknya bisa diupayakan  dalam  waktu seminggu,” katanya kepada Hukumonline, Kamis (16/1/2025).

Jika upaya perbaikan permasalahan dalam sistem Coretax terus berlarut-larut, Eko khawatir akan berdampak kepada aktivitas ekonomi terutama terkait kelancaran berbisnis. Bahkan jika kendala perpajakan ini terjadi dalam jangka panjang, bisa mempengaruhi investasi.

Sembari menunggu sistem Coretax diperbaiki, Eko memberi saran dan masukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan sosialisasi penggunaan Coretax kepada WP. Dia melihat masih banyak WP yang mengaku tidak paham dan bingung dalam teknis penggunaan Coretax.

Dalam konteks ini, DJP perlu mempersiapkan sumber daya manusia untuk menjelaskan secara rinci teknis penggunaan Coretax. Sehingga saat WP datang dan menghubungi DJP, baik itu langsung ke kantor pajak maupun call center, informasi dapat diberikan secara komprehensif dan menjawab semua keluhan.

“Banyak pertanyaan terutama bagaimana tentang keuangan, item-item keuangan di dalam itu banyak, aspek-aspek teknis yang harus dijelaskan. Dengan adanya call center atau tim yang bisa menjawab secara teknis, itu diperlukan. Terutama untuk memberi kejelasan kapan Coretax ini benar-benar siap dipakai,” jelasnya.

Getta Wulandari, seorang pelaku usaha yang aktif menggunakan layanan AHU Online, mengungkapkan, sejak akhir Desember 2024 hingga saat ini, akses layanan sistem AHU sering kali tidak dapat digunakan. Menurutnya kendala tersebut tidak hanya terjadi pada tahap pendaftaran perusahaan baru, tetapi juga mempengaruhi proses legalitas perusahaan yang sudah berdiri.

Wanita yang bekerja pada jasa pengurusan legalitas perusahaan dan perorangan ini bercerita bahwa kliennya telah menunggu sejak akhir tahun lalu. Tapi sayangnya, sampai sekarang dokumen legalitas mereka belum bisa diterbitkan karena sistem error.

“Bahkan ketika kami mencoba menghubungi pihak terkait, responsnya saling lempar tanggung jawab,” katanya kepada Hukumonline.

Kendala teknis ini berdampak langsung pada sektor investasi asing. Getta mencontohkan salah satu kasus kliennya, seorang investor asal Hong Kong yang berencana mendirikan PT PMA untuk mengekspor bahan makanan laut kering dari Indonesia. Namun, proses pendirian perusahaan tersebut tertunda karena dokumen legalitas yang dibutuhkan belum bisa diterbitkan.

Sebelumnya, Sekretaris Dewan Pertimbangan APINDO, Suryadi Sasmita, berpandangan terkait perlindungan pelaku usaha selama masa transisi implementasi Coretax. Ia menekankan pentingnya dukungan pembinaan yang berkelanjutan dari DJP untuk menjaga keberlangsungan usaha di tengah tantangan teknis yang dihadapi.

“Pelaku usaha membutuhkan jaminan bahwa mereka dapat tetap menjalankan aktivitas bisnis tanpa khawatir akan sanksi selama proses transisi yang menjadi ranah di luar kendali para pengusaha,” kata Suryadi.

Dia berharap DJP terus memberikan dukungan yang bersifat pembinaan, bukan semata penegakan selama masa transisi ini. Pendekatan yang kooperatif, lanjutnya, akan membantu dunia usaha beradaptasi lebih cepat dengan sistem baru sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *