Kecerdasan Buatan alias Artificial Intelligence (AI) telah memasuki industri manapun, termasuk ranah hukum. Kehadiran AI memunculkan berbagai kemungkinan yang menarik sekaligus menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya. Seperti apakah AI dapat merevolusi penyusunan kontrak, atau mungkinkah model tersebut menyebabkan kesalahan yang merugikan dan menjadi mimpi buruk di industri hukum?.
Pemanfaatan AI tidak hanya dapat melakukan otomatisasi terhadap tugas-tugas hukum rutin melainkan juga menghemat waktu dan uang. Lebih dari itu, dapat membebaskan profesional hukum untuk fokus pada masalah yang lebih kompleks dan penting.
Dalam workshop Hukumonline Drafting Legal Documents and Contracts in English, Foreign Counsel DDC Lawyers and Business Advisors, Keld Condrasen menekankan pentingnya pendekatan yang hati-hati. Menurutnya, penggunaan AI yang bertanggung jawab saat ini harus bergantung pada dua hal utama yaitu, expert prompting dan expert review. Dengan kombinasi ini, AI dapat menjadi alat yang efisien tanpa mengabaikan kebutuhan akan penilaian manusia.
“AI memiliki kemampuan untuk menganalisis sejumlah besar data dan dokumen hukum. Dalam teori, teknologi ini mampu menyusun kontrak secara cepat dan efisien, mengotomatisasi tugas-tugas hukum yang rutin, serta menghemat waktu dan biaya,” jelas Keld, Selasa (21/1/2025) pekan kemarin.
Otomatisasi tersebut menurut Keld juga memungkinkan profesional hukum untuk lebih fokus pada isu-isu yang kompleks dan strategis. Kelebihan AI dibandingkan advokat terletak pada kecepatan dan kemampuan pemrosesan data.
Dengan analisis preseden, kontrak, dan undang-undang masa lalu secara cepat, AI dapat menyusun kontrak yang kuat secara hukum serta sesuai dengan kebutuhan tertentu. Selain itu, AI dapat membantu mengidentifikasi risiko potensial, memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam penyusunan kontrak.
Namun, seperti teknologi lain yang masih berkembang, AI dalam penyusunan kontrak memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Model AI memungkinkan menyusun kontrak dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada yang dibutuhkan oleh advokat.
AI juga konsisten dalam penyusunan kontrak otomatis, sehingga mengurangi risiko kesalahan manusia dan ketidakkonsistenan. Kemudian, AI memiliki aksesibilitas, yang AI membuat layanan hukum lebih mudah diakses oleh masyarakat dengan mengurangi biaya.
Disamping kemudahannya, AI tidak memiliki intuisi dan penilaian manusia yang diperlukan untuk memahami nuansa klausul kontrak tertentu. Ketentuan kontrak mungkin sempurna bagi satu pihak karena cara uniknya dalam menjalankan bisnis, tetapi membawa bencana bagi pihak lain.
“Setidaknya untuk saat ini, penting untuk mencapai keseimbangan antara merangkul inovasi ini dan mempertahankan penilaian manusia yang sehat,” ujar Keld.
Ia menegaskan bahwa kedepannya, penggabungan teknologi berbasis AI dengan keahlian manusia akan menjadi kunci untuk navigasi di dunia hukum yang semakin kompleks.
AI menghadirkan masa depan yang menjanjikan dalam penyusunan kontrak, dengan manfaat seperti
peningkatan efisiensi, pengurangan kesalahan, dan aksesibilitas yang lebih besar. Namun, teknologi ini tetap harus digunakan secara bertanggung jawab, dengan penilaian manusia sebagai pengontrol utama untuk memastikan bahwa kontrak yang dihasilkan benar-benar memenuhi kebutuhan hukum dan bisnis pihak-pihak yang terlibat.