Finance – Ekonom UI menyoroti soal isu yang terdapat pada instrumen reksa dana kendati menunjukkan tren yang cukup positif dalam mendukung pertumbuhan sektor keuangan di Indonesia. Peneliti Makroekonomi LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan jumlah investor reksa dana menunjukkan pertumbuhan tahunan mencapai 62% selama periode 2016-2023. Dia menambahkan nilai aktiva bersih reksa dana tumbuh sekitar 9% dan jumlah unit penyertaan beredar sekitar 11% per tahun secara rata-rata selama periode yang sama.
Menjaga pertumbuhan reksa dana sebagai salah satu instrumen keuangan dapat menjadi salah satu potensi akselerasi pendalaman sektor keuangan di Indonesia.
“Namun, pertumbuhan reksa dana, terutama reksa dana saham sebagai instrumen investasi dihadapkan pada beberapa isu,” kata Riefky dalam keterangannya.
Dia menjelaskan pertama, terbatasnya ruang gerak investor institusi untuk mengalokasikan dana pada instrumen ekuitas, sehingga menyebabkan likuiditas juga relatif terbatas. Hal ini disebabkan oleh kewajiban alokasi investasi lembaga-lembaga pengelola dana seperti para badan penyelenggara jaminan sosial, dana pensiun, dan asuransi pada instrumen Surat Berharga Negara sejumlah persentase tertentu (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.1/POJK.05/2016).
Idealnya, kebijakan alokasi aset menjadi keputusan investasi yang diambil oleh masing-masing lembaga sesuai dengan perhitungan aktuarianya. Pada saat yang sama, adanya instrumen berbasis utang yang memiliki imbal hasil yang lebih pasti, seperti SRBI FOR4D, juga memicu terjadinya crowding-out effect dari pasar saham.
Kedua, adanya isu keterbatasan likuiditas ini juga menghambat rotasi sektor berjalan dengan baik. Semestinya, arus dana akan berotasi pada sektor-sektor dengan fundamental baik dan valuasi menarik, dan proses ini akan berjalan terus menerus.
Dengan likuiditas yang terbatas, proses ini tidak berjalan dan menyebabkan sektor berkapitalisasi pasar besar saja, terutama perbankan, yang menjadi sasaran arus likuiditas secara sehat. Ketiga, dari sudut pandang makro, kinerja perekonomian Indonesia terhitung cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5%.
Namun, kondisi ini mencerminkan kinerja yang mengarah ke stability over growth. Situasi ini tidak sepenuhnya sejalan dengan persepsi investor saham yang cenderung mencari pertumbuhan ketimbang stabilitas, yang terefleksi pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan laba emiten (EPS growth).
Ketiadaan percepatan pertumbuhan pada akhirnya terefleksi pada kinerja indeks saham (dalam hal ini IHSG) yang hanya tumbuh sekitar 3% secara rata-rata tahunan dalam 10 tahun terakhir. Berhubungan dengan poin sebelumnya, selain aspek makro dan pasar keuangan secara umum, terdapat beberapa isu dari perspektif investor, terutama investor retail. Keempat adalah adanya risiko kurangnya transparansi portofolio. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 17/POJK.04/2022 Tentang Pendoman Perilaku Manajer Investasi membuat investor hanya bisa mengetahui 10 portofolio investasi terbesar dari sebuah produk reksa dana saham.
Investor tidak dapat mengetahui keseluruhan kinerja dan strategi reksa dana saham yang dimiliki. Hal ini juga menimbulkan asymmetric information dan tidak simetrisnya asesmen risiko oleh investor. Kelima, reksa dana saham memiliki waktu pembelian kembali atau lebih dikenal sebagai redemption (pencairan dana) yang relatif lebih lama ketimbang instrumen lain. Reksa dana saham sering kali memerlukan waktu pencairan dana selama 3 hingga 7 hari kerja, sehingga tidak memberikan kepastian kapan dana dapat diterima oleh investor.
Keenam, harga dan transaksi reksa dana saham tidak terjadi secara real-time. Harga reksa dana saham biasanya diperbaharui pada waktu akhir hari bursa, sebagaimana diatur dalam pasal mengenai “Harga Pembelian Unit Penyertaan”. Secara keseluruhan, lanjutnya, reksa dana termasuk reksa dana saham, memiliki potensi berkembang yang cukup luas di Indonesia dan dapat mengakselerasi pendalaman pasar keuangan. Namun, perkembangan instrumen ini akan bergantung pada appetite investor.