Dasar tagihan dalam permohonan PKPU tersebut bermula dari putusan kasasi MA atas sengketa perdata antara Bukalapak dan PT Harmas Jalesveva, di mana Bukalapak dijatuhi denda sebesar Rp107 miliar. Denda yang belum dibayarkan tersebut dianggap sebagai utang yang sudah jatuh tempo.
Belum lama ini, PT Bukalapak.com Tbk telah dimohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Selasa, (7/1/2025). Dikutip dari laman resmi SIPP PN Jakpus, PKPU tersebut dimohonkan oleh PT Harmas Jalesveva dengan nomor perkara Nomor 2/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt.Pst.
Saat dikonfirmasi, Kuasa Hukum Bukalapak Ranto Simanjuntak merasa aneh dengan permohonan PKPU yang dilayangkan kepada kliennya. Pasalnya, dasar utang yang dijadikan alasan PKPU oleh PT Harmas adalah sengketa perdata yang saat ini dalam proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
“Latar belakang ini adalah perkara perdata, yang kalau dari sisi hukum perkara tidak masuk akal,” kata Ranto kepada Hukumonline.
Ranto pun menjelaskan duduk perkara PKPU yang dimohonkan kepada kliennya. Dasar tagihan dalam permohonan PKPU tersebut bermula dari putusan kasasi MA atas sengketa perdata antara Bukalapak dan PT Harmas Jalesveva yang diputus pada November 2024. Dalam putusan Kasasi No. 2461 K/PDT/2024 tersebut Bukalapak dijatuhi denda sebesar Rp107 miliar. Denda yang belum dibayarkan tersebut dianggap sebagai utang sudah yang jatuh tempo.
Karena putusan tersebut dianggap mencederai keadilan, Bukalapak pun mengajukan PK. Putusan tersebut dipertanyakan lantaran Bukalapak bukanlah pihak yang melakukan wanprestasi. Sebaliknya, PT Harmas Jalesveva justru menjadi pihak yang ingkar janji sebagaimana letter of intent yang disepakati kedua belah pihak.
Letter of intent tersebut, lanjut Ranto, merupakan perjanjian awal kedua belah pihak atas rencana penyewaan ruang kantor di Gedung One Balpark Office milik PT Harmas yang terletak di Jalan Fatmawati Raya, Jakarta Selatan, pada tahun 2017 silam. Kala itu, Bukalapak menyerahkan Down Payment (DP) kepada PT Harmas Jalesveva sebesar Rp6 miliar. Adapun perjanjian sewa menyewa akan dilakukan saat gedung sudah selesai dibangun. Namun setelah waktu yang ditentukan dalam letter of intent yakni 28 Maret 2018, Gedung One Balpark tidak kunjung selesai, dan hingga kini gedung tersebut masih dalam proses pembangunan.
Atas wanprestasi yang dilakukan PT Harmas Jalesveva, Bukalapak pun melayangkan somasi, meminta pengambalian DP yang sudah diserahkan. Alih-alih mendapatkan pengembalian DP, PT Harmas justru mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) kepada Bukalapak, dan gugatan itu dikabulkan oleh majelis hakim hingga putusan kasasi.
“Bukannya dapat pengembalian DP, setelah itu kita digugat perbuatan melawan hukum karena dianggap merugikan dia, sekarang lagi di PK. Aneh bin Ajaib, kita dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan didenda sampai ratusan miliar. Masuk akal enggak, kita belum nyewa, sudah di DP, belum ditunggu, tapi sudah didenda. Ini sangat tidak masuk akal, mencederai keadilan, merusak iklim investasi mengenai kepastian hukum,” jelas Ranto.
Selain itu, permohonan PKPU kepada Bukalapak juga dinilai tak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 222 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 8 ayat (4) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam pasal tersebut diatur bahwa syarat pengajuan PKPU yakni adanya dua kreditur atau lebih, terdapat utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih serta dapat dbuktikan secara sederhana.
Ranto mengatakan PT Harmas memasukkan Dirjen Pajak sebagai kreditur lain dalam permohonan PKPU tersebut. Sementara kliennya tidak memiliki pajak terutang, sehingga Dirjen Pajak tidak bisa dimasukkan sebagai kreditur lain dalam permohonan PKPU. Dan karena dasar piutang masih dalam proses upaya PK di MA, maka akan sulit untuk membuktikan adanya utang secara sederhana.
“Kita gak punya utang pajak, tapi kalau ditanya kewajiban pajak, mungkin semua perusahaan punya kewajiban pajak. Tapi utang pajak tidak punya. Dan itu tidak mungkin bisa dikatakan sebagai kreditur lain. Makanya saya garis bawahi bahwa itu adalah akal-akalan, upaya untung-untungan dari PT Harmas. Sangat aneh,” ungkapnya.
Dengan perkara perdata yang masih bergulir, Ranto pun secara tegas mengatakan bahwa sengketa yang terjadi belum masuk ke dalam kompetensi (kewenangan mengadili, red) PN Niaga Jakarta.