Ketua Baleg: Revisi Tatib Bukan Untuk Mencopot Pejabat

Rapat paripurna DPR telah menyetujui revisi Peraturan DPR RI No.1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR). Aturan tersebut sempat menjadi perbincangan publik lantaran DPR dianggap dapat mencopot jabatan  pejabat lembaga negara hasil uji kelayakan dan kepatutan di parlemen. Namun seperti apa penjelasan Badan Legislasi (Baleg) DPR?.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sturman Panjaitan mengatakan revisi Tatib DPR itu berdasarkan penugasan pimpinan DPR. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 105 ayat (1) huruf g UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD juncto Pasal 66 huruf j Peraturan DPR No.1 Tahun 2020  tentang Tata Tertib yang menyatakan Baleg bertugas menyiapkan, menyusun, membahas, melakukan evaluasi, dan menyempurnakan Peraturan DPR.

Revisi itu hanya menyisipkan Pasal 228A diantara Pasal 228 dan Pasal 229 Tatib DPR. Sturman menjelaskan redaksional Pasal 228A ayat (1)  menyebutkan “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.” 

Kemudian ayat (2) menyebutkan, “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku”. Seluruh fraksi yang hadir dalam rapat paripurna DPR menyetujui revisi tersebut.Kemudian ayat (2) menyebutkan, “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku”. Seluruh fraksi yang hadir dalam rapat paripurna DPR menyetujui revisi tersebut.

Tapi Pasal 228A hasil revisi itu menimbulkan kontroversi publik. Ketentuan itu dianggap sebagai instrumen DPR untuk mencopot pejabat negara. Persoalan itu direspons Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, yang menegaskan Tatib DPR itu hanya berlaku dan mengikat ke dalam atau internal DPR.

Perdebatan yang muncul di Baleg ketika membahas revisi Tatib itu antara lain soal tahapan antara calon dan pejabat. Misalnya dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di komisi masing-masing. Calon pejabat hasil fit and proper test itu sebelum dan sesudah disetujui dalam rapat paripurna dapat dilakukan evaluasi oleh DPR secara berkala.

“Jadi bukan mencopot. Kalau akhirnya pejabat yang berwenang (atasan,-red) berdasarkan evaluasi berkala dari DPR itu ada keputusan yang mencopot maka tindakan itu bukan DPR kita hanya melakukan evaluasi,” ujar Bob dalam rapat kerja Baleg DPR, Kamis (6/2/2025).

Lebih lanjut politisi Partai Gerindra itu menjelaskan, DPR punya kewenangan melakukan fit and proper test kepada calon pejabat tertentu. Termasuk evaluasi dan konsultasi secara mufakat. Hasil evaluasi diberikan kepada instansi yang berwenang misalnya Presiden, dan Komisi Yudisial. Instansi tersebut punya kewenangan untuk melakukan tindakan setelah mendapat rekomendasi dari hasil evaluasi yang dilakukan DPR.

Sebelumnya, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, mempersoalkan keputusan DPR merevisi peraturan tata tertib sehingga bisa mengevaluasi pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna, termasuk mengevaluasi hakim konstitusi.

“Ini tidak perlu Ketua MKMK yang jawab, cukup mahasiswa hukum semester tiga. Dari mana ilmunya ada tata tertib bisa mengikat ke luar?,” ujar Palguna sebagaimana dikutip dari Antara.

Mantan hakim konstitusi itu juga mempertanyakan pemahaman DPR akan hukum ketatanegaraan. “Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum? Masa DPR tak mengerti teori kewenangan? Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances (periksa dan timbang)?” ucapnya.

Menurut Palguna ketentuan hasil revisi tata tertib itu mengindikasikan DPR tidak mematuhi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Jika mereka (DPR) mengerti, tetapi tetap juga melakukan, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar (UUD 1945), tetapi di atas hukum yang mereka suka dan maui dan mengamankan kepentingannya sendiri,” imbuhnya.

Keyword Terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *