Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group, Slamet Kaswanto, berharap pemerintah melalui bantuan Komisi IX DPR RI dapat ikut mendesak kurator PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dalam mencairkan hak-hak mereka, termasuk tunjangan hari raya (THR) hingga uang pesangon.
“Iya harapan kami, kami sampaikan ke pemerintah, termasuk hari ini ke Komisi IX DPR adalah untuk mengawal ini agar hak kami itu bisa terpenuhi untuk itu (THR dan pesangon),” kata Slamet seperti dikutip Antara, Selasa (4/3).
Slamet beserta lima perwakilan serikat pekerja Sritex lainnya yang hadir dalam RDP tersebut juga meminta bantuan Komisi IX DPR untuk mengkoordinasikan Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) imbas PHK kepada jajaran BPJS Ketenagakerjaan.
Ia juga berharap fasilitas kesehatan yang gratis selama enam bulan setelah dinyatakan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa dihitung sejak PT Sritex ditutup permanen per 26 Februari 2025, alih-alih dihitung sejak Pengadilan Niaga (PN) Semarang memutuskan perusahaan pailit di Desember 2024.
“Harapannya, ibu dan bapak Komisi IX bisa mem-backup kami. Kami menghormati putusan hukum, tapi perasaan kami tidak enak karena dua hari menjelang puasa seharusnya akan muncul hak THR itu (alih-alih PHK massal),” ujar Slamet.
Ia juga menegaskan tanggungan hak pekerja Sritex tetap harus diperjuangkan, meskipun saat ini perusahaan diambil alih oleh kurator.
“Jangan sampai nanti harapan untuk kerja lagi terwujud, tapi hak pesangon dan THR tidak ada. Hak kita harus diselesaikan dulu. THR juga menjadi mutlak karena yg kita nantikan di bulan suci adalah THR,” kata Slamet.
“Kami mohon dorongan agar THR dicairkan dulu, sementara untuk pesangon, akan kami ikuti alurnya. Kita tidak mengundurkan diri tapi di-PHK oleh kurator dua hari sebelum Ramadhan. Push juga untuk BPJS Ketenagakerjaan. Tolong kami dikawal betul untuk pesangon dan apa yang menjadi hak-hak kami dipenuhi,” imbuhnya.
Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, menyayangkan gelombang PHK besar termasuk yang dilakukan Sritex dilakukan tepat sebelum momen Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tiba.
Menurut Rhenald, lebih bijak bagi pengusaha atau perusahaan untuk menunda PHK setelah Hari Raya Idul Fitri, yang menjadi momen masyarakat mempersiapkan mudik atau perayaan Lebaran bersama keluarga.
“Seharusnya PHK ditunda setelah Lebaran. Pengusaha hendaknya juga berhitung aspek sosial psikologis masyarakat, PHK yang tidak memperhitungkan dampak ini sangat mengganggu trust dan suasana kebatinan masyarakat,” kata Rhenald, di Jakarta, Senin (3/3).
Menurut Rhenald, biasanya hal seperti itu sudah dibicarakan dengan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) setempat, sehingga Disnaker dapat mengatur waktu (timing) yang tepat untuk pengumuman PHK.
“Disnaker-lah yang harus mengatur timing-nya, dan sebaiknya hak-hak pegawai/buruh seperti THR dan uang PHK sudah dibayarkan,” ujar dia menambahkan.
Adapun Rhenald menilai penataan daya saing dan ekonomi merupakan akar dari adanya gelombang besar PHK.
Salah satunya yang belakangan ini menyita perhatian adalah sebanyak 12 ribu karyawan PT Sritex dan tiga anak usahanya yang kehilangan pekerjaan akibat pailit.
“Gelombang PHK yang berturut-turut ini mencerminkan adanya masalah dalam penataan daya saing. Misalnya industrial policy, mulai dari bea masuk, beban bunga, perpajakan, ketersediaan (ekosistem bahan baku), keterampilan tenaga kerja, biaya ‘siluman’, dan sebagainya, yang mengakibatkan melemahnya daya saing dan perusahaan harus ditutup,” kata Rhenald.
“Jadi pemerintah harus duduk bareng antarkelembagaan dan atasi bersama,” ujar dia menambahkan.
Lebih lanjut, Rhenald mengatakan pemerintah harus aktif dalam memantau penyerapan tenaga kerja di saat ada perusahaan yang tutup. “Ini persoalan penataan ekonomi, yakni bagaimana agar pengusaha tetap kompetitif,” kata Rhenald.
“Memang bukan semua masalah pemerintah, tetapi pemerintah harus terus memantau atau setiap satu perusahaan tutup, maka ada dua tiga perusahaan yang kapasitas/kemampuan menyerap tenaga kerjanya dua kali lipat dari yang ditutup,” katanya lagi.