Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan penguasaan batubara dan sumber daya alam lainnya oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Namun praktiknya, sektor pertambangan didominasi oleh perusahaan asing dan swasta nasional yang modalnya dimiliki oleh kelompok tertentu.
Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral Logam dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Batubara, kepada badan usaha yang didirikan oleh perguruan tinggi dinilai sebagai langkah tepat. Demikian disampaikan dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (FH Untar) Ahmad Redi.
“Pemberian WIUP Mineral Logam dan IUPK Batubara kepada badan usaha perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan sudah tepat,” ujar Redi kepada Hukumonline, Jumat (31/1/2025).
Dia menilai, kebijakan tersebut sejalan dengan amanat konstitusi dan memiliki potensi besar untuk mendorong kemakmuran rakyat serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setidaknya langkah tersebut memiliki tiga dasar utama yang kuat.
Pertama, perguruan tinggi melalui badan usahanya memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara 1945. Pasal tersebut menyebutkan, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
“Perguruan tinggi, sebagai entitas yang berorientasi pada kepentingan publik, memiliki legitimasi untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam,” ujarnya.
Kedua, perguruan tinggi merupakan pusat pengembangan iptek. Dengan demikian, kehadiran perguruan tinggi dalam sektor pertambangan dapat menjadi jembatan antara teori akademis dan praktik lapangan. Hal ini dikarenakan selama ini, banyak perguruan tinggi telah memiliki entitas bisnis yang bertujuan menerapkan iptek sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi untuk menunjang tridarma perguruan tinggi.
Ketiga, sektor pertambangan saat ini didominasi oleh entitas non-state yang bersifat kapitalistik. Kondisi ini dinilai Redi hanya menguntungkan segelintir orang dan belum sepenuhnya merealisasikan prinsip kemakmuran rakyat.
“Hadirnya perguruan tinggi sebagai pengelola tambang dapat menjadi terobosan baik. Mereka membawa standar moral, etika lingkungan, dan komitmen untuk kesejahteraan civitas akademika serta masyarakat luas,” ujar Redi
Lebih lanjut, pria yang memiliki keahlian di bidang hukum pertambangan itu menegaskan, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan penguasaan batubara dan sumber daya alam lainnya oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, sektor pertambangan masih didominasi oleh perusahaan asing dan swasta nasional yang modalnya dimiliki oleh kelompok tertentu
Dengan demikian menurut Redi badan usaha perguruan tinggi dapat menjadi navigator yang mengakomodasi aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan pembangunan nasional. Alumni FH Universitas Diponegoro itu mengingatkan, perguruan tinggi memiliki kewajiban moral dan akademik untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan prinsip good mining practice.
“Dengan demikian, transformasi kepentingan iptek, sosial, ekonomi, dan lingkungan dapat berjalan seimbang dan berkelanjutan,” imbuhnya.
Terpisah, Guru Besar Hukum Tata Negara FH Universitas Padjadjaran, Prof. Susi Dwi Harijanti mengatakan kebijakan pemerintah itu tidak tepat. Malahan bagi Prof Susi kebijakan tersebut tidak dapat dipastikan dapat sejalan dengan UUD 1945 maupun secara filosofis.
Menurut Prof Susi, lembaga pendidikan adalah lembaga otonom yang menjalankan tiga fungsinya. Yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sejatinya, lembaga pendidikan terfokus pada memproduksi ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya cawe-cawe dalam kegiatan pertambangan.
“Kalau keinginan pemerintahan dalam pemberian izin usaha pertambangan perguruan tinggi untuk memperoleh dana lebih, tidak begitu caranya. Biarkan perguruan tinggi melaksanakan fungsi utama sebagai lembaga pendidikan,” ujarnya kepada Hukumonline.
Dia menegaskan, jika negara ingin perguruan tinggi mempunyai dana yang cukup, maka hanya dengan menarik pajak yang besar dari kegiatan tambang. Kemudian berikan kepada perguruan tinggi untuk mengelola keuangan secara otonomi. Ia mengingatkan agar jangan anggapan perguruan tinggi seakan-akan tidak lagi diberi dana oleh pemerintah, sehingga harus mencari dana sendiri dari pemberian izin tambang tersebut.